Kamis, 14 Mei 2009

Etika Lingkungan Hidup

Etika Lingkungan Hidup
Pengantar


Contoh Kasus Kerusakan Lingkungan: Penebangan Hutan di Kalimantan

1. Kerugian dalam bidang Ekonomi
2. Dampak Kerusakan terhadap Lingkungan Hidup



Apa itu Etika Lingkungan Hidup ?
1. Etika Ekologi Dangkal
2. Etika Ekologi Dalam



Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat

1. Pengaruh Filsafat Yunani pada Etika Lingkungan
2. Tantangan Filsafat Modern
3. Menakar Sumbangan Filsafat pada Etika Lingkungan



Pandangan Baru terhadap Alam




1. Pengantar
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.
Kiranya tidak salah jika manusia dipandang sebagai kunci pokok dalam kelestarian maupun kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Bahkan jika terjadi kerusakan dalam lingkungan hidup tersebut, YB Mangunwijaya memandangnya sebagai oposisi atau konflik antara manusia dan alam . Cara pandang dan sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya menyangkut mentalitas manusia itu sendiri yang mempertanyakan eksistensinya di jaman modern ini dalam kaitannya dengan waktu, tujuan hidup, arti materi dan yang ada ”di atas” materi. Dengan demikian masalah lingkungan hidup tak lain adalah soal bagaimana mengembangkan falsafah hidup yang dapat mengatur dan mengembangkan eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam.
Pemikiran tersebut mendorong kami untuk memilih dan membahas tema etika lingkungan dalam paparan ini. Pada awal tulisan ini, akan diangkat contoh kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Barat serta dampak negatif yang ditimbulkannya. Kemudian kami akan membahas apa sebenarnya yang dimaksud dengan etika lingkungan hidup, beberapa pandangan yang mendasari etika lingkugan hidup tersebut. Pembahasan tentang etika lingkungan hidup, kami perdalam dengan mencari simpul-simpul pemikiran dalam sejarah filsafat barat dari Jaman Yunani Kuno sampai Jaman Modern yang memantapkan atau justru menantang etika lingkungan hidup. Selanjutnya kami akan melengkapinya dengan beberapa pada pandangan dan kesadaran baru dalam etika lingkungan yang mendukung perbaikan sikap kita atas lingkungan hidup.
2. Contoh Kasus Kerusakan Lingkungan: Penebangan Hutan di Kalimantan
Penebangan hutan secara ilegal (illegal logging) sebenarnya persoalan klasik bagi masyarakat Indonesia. Setiap hari, kegiatan tersebut marak dilakukan di sejumlah kawasan hutan dengan diketahui petugas instansi berwenang, aparat dan masyarakat setempat. Meskipun berkali-kali diberitakan bahwa penertiban terus diupayakan, namun penebangan dan perusakan hutan semakin merajalela.
Di kabupaten Ketapang misalnya, sasaran penebangan liar adalah Taman Nasional Gunung Palung ( TNGP ). Sudah sekitar 5 tahun penjarahan itu berlangsung. Sekitar 80 % dari 90.000 ha luas TNGP sudah dirambah para penebang dan mengalami rusak berat. Para penebang yang dibayar untuk memotong pohon itu diperkirakan jumlahnya sebanyak 2000 orang dengan menggunakan motor pemotong chainsaw .
Selain itu di hutan Kapuas Hulu, penebangan hutan liar juga tak kalah mengerikan. Sasaran penebangan adalah pohon-pohon dengan jenis Kayu Ramin, Meranti, Klansau, Mabang, Bedaru, dan jenis Kayu Tengkawang yang termasuk jenis kayu dilindungi. Kayu-kayu gelondongan yang telah ditebang langsung diolah menjadi balok dalam berbagai ukuran antara lain: 24 cm x 24 cm, 12 cm x 12 cm dengan panjang rata-rata 6 meter. Setiap hari jumlah truk yang mengangkut kayu ini ke wilayah Malaysia sekitar 50 –60 truk. Menurut Sekjen “Silva Indonesia”, pengangkutan ini berlangsung siang dan malam dihadapan mata aparat instansi berwenang tanpa ada pemungutan dana reboisasi dan pajak lainnya “.
2.1 Kerugian bidang Ekonomi
Berdasarkan pada perkiraan Prof. Dr. Herujono Hadisuprapto, MSc, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, setiap hari kayu ilegal berbentuk balok yang diselundupkan dari Kal-Bar ke Serawak mencapai 10.000 m kubik. Kayu-kayu ini terbebas dari iuran resmi seperti dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, dan pajak ekspor. Diprediksi kerugian negara mencapai Rp. 5,35 milyar per hari, atau sekitar Rp 160,5 milyar perbulan.
Maka sebenarnya sangat ironis jika kerugian ini dihubungkan dengan usaha mati-matian dari pemerintah Indonesia untuk mencari pinjaman dana dari IMF. Ketika pemerintah mengemis pada IMF dana senilai 400 juta $ AS, sebenarnya pemerintah kehilangan pendapatan atas pajak senilai 4 Milyar $ AS setiap tahunnya akibat penebangan hutan liar sejak 1998.
2.2 Dampak kerusakan terhadap ekologi lingkungan
Penebangan hutan secara ilegal ini juga menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi hutan itu sendiri maupun lingkungan di sekelilingnya. Secara umum, dampak penebangan hutan menyebabkan: pertama, masalah pemanasan global; kedua, masalah degradasi tanah; dan ketiga, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati di dalamnya.
2.2.1 Masalah pemanasan global
Para ahli memperkirakan bahwa dampak dari pemanasan global akan sangat meningkat bila kelestarian dan keutuhan hutan tidak dipelihara. Ada beberapa akibat yang akan muncul akibat pemanasan global ini, antara lain terjadinya perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat penguapan air sehingga berpengaruh pada curah hujan dan distribusinya. Akibat selanjutnya adalah terjadinya banjir dan erosi di daerah-daerah tertentu. Seperti kasus yang terjadi di Pontianak ( Kalimantan Barat ) dan Nias ( Sumatra Utara ) yang menelan korban materi dan nyawa yang sangat besar. Musim kering yang berkepanjangan juga akan melanda daerah-daerah yang areal hutannya digunduli, bahkan dibakar. Sebagai contoh adalah kebakaran hutan Kalimantan Barat. Resiko yang timbul kemudian adalah banyaknya lahan yang dibiarkan kosong.


2.2.2 Masalah degradasi tanah
Penebangan hutan secara tak terkendali pasti juga menyebabkan degradasi tanah dan berkurangnya kesuburan tanah. Data dari Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa lahan produktif yang telah diolah di Indonesia sebanyak 17.665.000 hektar. Sebesar 70 % dari lahan itu adalah lahan kering. Sisanya adalah lahan basah. Akibat penebangan liar yang terjadi banyak lahan kering yang tidak digarap. Akibatnya erosi menjadi mudah terjadi dan tanah berkurang kesuburannya.
2.2.3 Masalah kepunahan keranekaragaman hayati
Masalah ini cukup mendapat perhatian penting saat ini. Berdasar penelitian para ahli, dikatakan bahwa jumlah spesies binatang atau spesies burung semakin berkurang, khususnya di Kalimantan Barat. Akibat penebangan hutan yang dilakukan terus menerus, banyak hewan yang menyingkir dan mencari habitat yang baru. Misalnya, harimau Kalimantan semakin terjepit karena tempat tinggalnya semakin sempit dan terus di babat. Bukan tidak mungkin bahwa tahun-tahun mendatang spesies harimau akan punah. Para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2015 dengan penggundulan hutan tropis di Kalimantan akan menyebabkan punahnya 4-8% spesies dan 17,35 % pada tahun 2040.
3. Apa itu Etika Lingkungan ?
Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?
Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.

Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
3.1 Etika Ekologi Dangkal
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1. Manusia terpisah dari alam,
2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek.
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
3. 2 Etika Ekologi Dalam
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama.
Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.
Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan dangkal. Keduanya memiliki beberapa perbedaan – perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
4. Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat
4.1 Pengaruh Filsafat Yunani pada Etika Lingkungan
Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras. Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.
Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Dalam metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.
Eugene C Hargrove - seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak mungkin.
4.1.1 Tantangan Perspektif ekologis
Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu element metafisik yang menjadi dasar segala sesuatu.
4.1.2 Perspektif Estetis
Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan emosinya pertama-tama adalah “ keteraturan “ dan bukan “ keindahannya “. Hal yang berkebalikan ditemukan dalam diri para seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan inderawi begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada “ nomos “ tetapi pada dimensi estetis dari alam itu sendiri. Memang dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi indahnya alam raya ini, tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan pandangannya bahwa obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai keindahan. Keindahan itu ada karena obyek natural tersebut berpartisipasi dengan idea keindahan. Partisipasi inilah – menurut Plato – yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi, keindahan secara intrinsik itu sebenarnya tidak ada.
4.1.3 Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem
Kosep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam pemikiran filsafat Yunani, karena pandangan ini bertentangan dengan metafisika yang menjadi pegangan mereka yaitu dunia yang konstan, abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan antara metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf sebelumnya jelas-jelas berpegang pada pandangan bahwa alam memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang “ kekonstanan “ alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat keadaan alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di tempat yang lain keadaan alam sedang membaik. Konsep siklis ini memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran baru akan alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam pada dasarnya bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu campur tangan manusia dalam keseluruhan proses ini.
Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat Yunani melawan pemikiran etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri para filsuf yang bisa digunakan untuk mengembangkan etika lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat sebagai pohon dan bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya. Dalam Meteorology, Aristoteles juga sudah memperhatikan gejala perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus sungai Nil di Mesir.
Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid Aristoteles - sudah mengajukan pemikiran revolusioner tentang keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat konsep Atistoteles - gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos tersendiri. Pandangan Theophratus ini menjadi dasar bagi etika lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas segala ciptaan, ia hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.
4.2 Tantangan Filsafat Modern
Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah ‘ apakah alam itu ada ( metafisik ) ‘ tetapi bagaimana kita mengetahui alam ( epsitemologis ). Dalam hal ini, pemikiran Rene Descartes perlu dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai sifat korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan sebagai created substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen sehinga dapat rusak dan tidak dapat berinteraksi satu sama lain. Ini menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari saat ke saat untuk memecahkan masalah dunia.
Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi environmentalist karena paham alam yang dapat rusak menuntut suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi konsepnya tentang Tuhan yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia, membuat pelestarian alam seakan-akan berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu , bagi environmentalist sisi teologis teori Descartes ini cenderung ditinggalkan.
Di Inggris muncul kaum empiris – terutama Hume – yang menyatakan bahwa sensasi dan indera sebagai kriteria bagi adanya sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan dengan Kant yang membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove, idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya menunjukkan kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru G.E. Moore yang berani melawan Kant dan Hegel dan merehabilitasi pentingnya dunia eksternal.
Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas mempunyai dampak besar. Pada awal modernitas, science justru lebih bersifat antiobservational, menekankan prinsip-prinsip geometris dan bersifat reduksionis. Hume yang membagi obyek penelitian dalam “ primary dan secondory property ” mempunyai pengaruh besar pada terpisahnya nilai ( value ) dari fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan dikategorikan pada secondary dan bukan menjadi urusan ilmu alam yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan ini tampak tegas dalam kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan. Ketika alam hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari kegunaan-kegunaan yang ada di dalamnya tanpa memperhitungkan nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu sendiri - yang terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.
4.3 Menakar sumbangan filsafat pada Etika Lingkungan
Kaum environmentalist mengakui bahwa bahwa filsafat sejak Yunani sampai Modern memang tidak banyak memberi dasar pada Etika Lingkungan, bahkan cenderung berseberangan dalam pandangan terhadap alam. Dari skeptisisme terhadap realitas fisik dan konsep alam yang tidak dapat rusak jelas bertabrakan dengan paham baru yang ingin ditonjolkan oleh kaum environmentalist tentang dimensi estetis dari materi dan alam yang sedang berubah. Filsafat sosial dan politispun tidak menyentuh sisi pelestarian alam ini, misalnya pandangan John Locke tentang tanah yang mencapai puncak nilai guna ketika digunakan oleh negara untuk kepentingannya.
Bagi Etika Lingkungan, tantangan tersebut tidak harus diartikan bahwa etika ini telah kehilangan nilai filosofisnya karena tidak banyak didukung oleh tradisi pemikiran sebelumnya. Justru, etika lingkungan ingin menunjukkan lubang besar dalam sejarah filsafat yang tidak pernah digali dan direfleksikan. Lubang besar itu bagi kaum environmentalis ditunjukan dalam sikap manusia yang merasa sebagai raja atas seluruh ekosistem yang secara menyedihkan telah menyebabkan ekosistem pelan-pelan kehilangan nilai estetisnya, dan melulu menjadi obyek kepentingan manusia. Di sinilah, Etika Lingkungan memberikan sumbangannya dalam seluruh pemikiran filsafat.
5. Pandangan Baru Terhadap Alam
Sebenarnya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Tapi tindakannya yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alam tetapi akal budi manusia juga mampu 'digiring' untuk menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukan penghijauan di daerah kering, di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam. Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain” .
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargai alam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk menemukan suatu sistem ekomomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
Ada beberapa pemikir yang menyatakan bahwa hanya mereka yang bertindak sesuai kewajibanlah yang mempunyai hak. Meskipun demikian anak cucu keturunan manusia yang nantinya mendiami bumi ini, juga mempunyai hak atas alam ini sama dengan kita. Ketika kita mengeksploitasi habis-habisan alam atas dalih memanfaatkan hak, sebenarnya kita telah merebut hak mereka “yang belum terlahir di bumi sekarang ini”. Memang mereka belum mampu melakukan suatu kewajiban, tapi kewajiban mereka nantinya adalah sama yaitu menjaga alam bagi keturunan mereka.
Mahluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.
Permasalahan lingkungan sendiri tidak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia yang disebut teknik. Pengertian teknik adalah suatu cara membuat sesuatu. Teknik kemudian dipelajari untuk tujuan tertentu dan dinamakan teknologi. Alat-alat yang dihasilkan teknik bisa merupakan perpanjangan tubuh manusia atau bisa juga sarana untuk menemukan dan menyimpan apa yang tidak didapatkan pada dirinya. Maka teknik adalah realisasi sekaligus substitusi diri manusia. Masalahnya kemudian teknik itu mengandaikan ada sarana yang dipakai, dan itu adalah alam. Penggunaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dibedakan dalam dua sifat : eksploitatif dan konstruktif. Eksploitatif maksudnya manusia mengambil segala sesuatu dari alam tanpa mengganti atau mengembalikannya ke alam. Sedangkan konstruktif adalah pengambilan hasil alam dengan memperhitungkan kelestariannya, maka harus diikuti dengan tindakan memperbarui.
Susahnya masalah ini dipecahkan adalah karena eksploitasi ini diorganisasi dan dipakai bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk menumpuk harta demi kepentingan egoisme. Sudah sepantasnya manusia sadar kalau semua akibat eksploitasi ini akan berbalik dan merugikan diri manusia sendiri. Manusia harus berpikir secara jangka panjang dan bukan semata-mata untuk dirinya sendiri. Maka perlu diperhitungkan bagaimana mengganti sumber-sumber alam yang dipakai. Bagaimana menggunakan sumber alam agar sungguh maksimal mencapai tujuan tanpa merusak keseimbangan alam. Mungkin kita harus kembali pada pemilihan prioritas mana yang penting, mana yang sekadar berguna, mana yang artifisial dan menyenangkan. Apakah perlu menebang pohon, apakah perlu mendirikan pabrik yang berlimbah beracun, dsb.
6. Penutup
Evolusi etika lingkungan, merupakan proses intelektual dan emosional. Koservasi lingkungan yang berdasar maksud baik saja terbukti lemah bahkan berbahaya, karena mengabaikan pemahaman kritis baik terhadap alam maupun sisi ekonomis dari penggunaan alam. Muatan intelektual akan meningkat sejalan dengan meluasnya penghayatan etika pribadi ke komunitas. Mekanisme kerjanya sama untuk etika apapun juga: peneguhan sosial untuk tindakan-tindakan yang benar dan penolakan atas tindakan-tindakan yang salah.
Kunci untuk melepas belenggu evolusi etika lingkungan adalah : Lupakan berpikir tentang penggunakan alam semata-mata sebagai masalah ekonomi. Uji setiap pernyataan sehubungan dengan kelayakan ekonomi dalam terminologi kebenaran etik dan estetis. Sesuatu adalah benar jika mempunyai kecenderungan mempertahankan integritas, stabilitas dan komunitas biotik. Sesuatu adalah salah jika condong ke arah sebaliknya.
Daftar Pustaka
1. Borrong, Robert, Etika Bumi Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999
2. Hargrove, Eugene C, Foundation of Environmental Ethics, Prentice Hall, New Jersey, 1989
3. Mangunwijaya, YB, Lingkungan Hidup dalam pandangan Timur, makalah Seminar Lingkungan Hidup dan Berbagai Masalahnya, Cibubur, November 1982
4. Sony Keraf, Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas, 6 Desember 1982
5. Tim Wartawan Kompas, Hutan Konservasi Dihabisi, Kompas, 5 Agustus 2001
6. VanDeVeer, Donald dan Pierce Christine, People, Penguins, and Plastic Trees, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California, 1986
Anggota Tim Penyusun
Ardi Handojoseno, AM - Bambang Irawan, P - Damai Wasono - Danang Listyo
Pramono, L - Gading Sianipar, Y- Parwoto, F – Putu Agung Prawira- Saturninus Ndaus
1. Disusun dalam rangka tugas terstruktur mata kuliah Etika, Semester ganjil 2001/2002, STF Dryarkara Jakarta
2. YB. Mangunwijaya, Lingkungan Hidup dalam pandangan Timur, disampaikan dalam Seminar Lingkungan Hidup dan Berbagai Masalahnya di Pusdika Cibubur, 11 – 13 November 1982
3. Sony Keraf, Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas edisi 6 Desember 1982
4. Kompas 5 Agustus 2001, Hutan Konservasi Dihabisi, hal 26
5. Ilmu alam yang menekankan observasi sebenarnya baru muncul setelah lahirnya empirisme. Pada awalnya ilmu alam– terutama Descartes dan Galileo - masih menggunakan metode deduktif geometris dan menolak obeservasi karena ingin mencari prinsip-prinsip dibalik realita. Hargrove, Foundation of Environmental Ethics , p 39
6. Aldo Leopold , People, Penguins, and Plastic Trees, hal 82

Senin, 27 April 2009

QUALITY ASSURANCE IN OPEN, DISTANCE AND E-LEARNING

G. Dhanarajan
Preamble

1. In 1999, Peter Drucker predicted that in the next 50 years, “schools and universities will change more drastically than they have since they assumed their present form 300 years ago when they organized themselves around the printed book”. Drucker was not alone in his pronouncements. There are others as well. Some twenty years ago Gardner the then Secretary of Education of the US under President Lyndon Johnson, futurologist and Stanford Professor of Education said “I am entirely certain that 20 years from now we will look back at education as it is practiced in most schools today and wonder that we could have tolerated anything so primitive” . He seemed to have had in mind an education universe that would be driven by intelligent technologies and education systems transformed to use all of the potential of such technologies.
2. The Technology universe imagined in 1989 has certainly come to pass and will continue to move higher and higher in value in the food chain. Education systems, however, sadly have so far been slow to utilize the new assets at their disposal. Even as recent as ten years ago the choice of technologies for purposes of delivering education was somewhat limited, partly because they were expensive, analogue stand-alone appliances with limited versatility; requiring many skilled technicians to create and deliver the product. Radio and television are prime examples of the demand that these technologies made on educational systems. Those that did not fall into this category such as overhead projectors, slide projectors, etc., consequently, had limited reach.

3. The picture now is completely different. Limitation to technology application in education is no longer the versatility, convenience, cost and potential of the technology but rather the limitation of our imagination in the way they can be applied. Through integration, convergence, miniaturization and intelligence the technologies have become friendly. The question is no longer whether technologies are useful in the teaching and learning environment but which technologies are best suited for a particular purpose. But as is so often the case, “Universities [which] are often at the leading edge in the use of technologies for research … have been much slower to develop [and use] technology within the teaching function in their [own]working environment] the very institutions that give birth to these technologies are often the very last to use them”.

4. Notwithstanding, there are signs that things are changing and have been over the past ten years. In some ways the success of many distance teaching institutions such as the Open Universities of the UK, India, Korea, Turkey, Venezuela have all in one way or another made significant inroads in the way education systems look at learners, their learning patterns, their learning requirements, assessment strategies and the ownership of credits and awards. More recently, e on-line, virtual and blended universities have also started to make their presence felt in the learning universe. Some of these ventures have become well known for their spectacular failures rather than for their successes. There are reasons for this and perhaps we can take this up during our Q&A.

5. My contribution to your conference will look at the following:
• Clarifying the Terminology
• Assigning a Purpose for e- learning
• Contemporary discussion on e- learning
• Assumptions Around Quality
• Practising Quality

Clarifying the Terminology

6. There is ample empirical evidence to suggest that any discussion of e-learning quickly becomes fruitless because those participating are not using the same interpretations for the jargon. These difficulties are inevitable both because the field is new and the debate is still progressing and also usage has preceded understanding. For purposes of this presentation I wish to bring to your attention five terms that are currently in vogue. I think it is good to know what they mean as we proceed further:
Open learning – policies and practices that permit entry to learning with no or minimum barriers with respect to age, gender, or time constraints and with recognition of prior learning. These policies need not be part of a distance education system but are comple¬mentary to it.
Distance education – the delivery of learning or training to those who are separated mostly by time and space from those who are teaching or training. The teaching is done with a variety of “mediating processes” used to transmit content, to provide tuition and to conduct assessment or measure outcomes.
Flexible learning – the provision of learning opportunities that can be accessed at any place and time. Flexible learning relates more to the scheduling of activities than to any particular delivery mode.
Online learning and e-learning – terms that have emerged to describe the application of information and communication technologies (ICTs) to enhance distance education, implement open learning policies, make learning activities more flexible and enable those learning activities to be distributed among many learning venues.


Virtual education – includes aspects of both online and e-learning but goes somewhat further. While it is largely web-centric it does not necessarily limit itself to learners outside a conventional classroom. It uses multimedia and, besides delivering content, also enables a high level of interaction among learners, content, teachers, peers and administration both synchronously and asynchronously.
Assigning a Purpose for E – Learning
7. While open, distance and/or e learning should not be seen as a panacea to resolve all of a nation’s educational ills, not including it, as a provision is also not judicious. Governments, educational institutions, business and industrial trainers have all used these provisions for one, two or all of the purposes listed below at one time or another.
• Reaching out: today’s learners, both young and old, will spend their lives in a century that is information rich, knowledge dependent and global in character. They will also be functioning as citizens in a complex world requiring constant and regular updating of their skills and knowledge. They need the skills to cope with this dynamic period. The growth of online library systems, the easy access to expert knowledge through the Web, the variety of sources of learning and the frequent change of careers and location of residence during a person’s productive lifetime will mean having new skills and refreshing old skills. In all these areas the new technologies are an extremely invaluable asset. Returning to school and time table driven classrooms, for even short periods of time is not really an option. Schools have to reach out to citizens.
• Reaching Far: Schools also have to reach far, to where citizens live, work and play. An earlier generation of educators considered distance a tyranny and founded off campus programmes mostly using print and a nation’s postal and other transport systems to reach far. Today for most of us ‘distance is dead’. With the demise of distance through telephony, the Net, and the Web providing learning to remote communities is no longer the challenge. With emerging management systems for learning we are in a position to work both synchronously and asynchronously with learners, to provide information, to guide learning, to assess and confer credits. The portable classroom has arrived and it seems to be a lot more exciting learning environment than brick and mortar. It has made learning an active process.
• Enriching and Diversifying Curriculum: The Web more than any other tool that we know of has the power to make available at the click of a button enormous amount of information from its original source. This information in its multimedia form provides the teacher and learner with information to support and enrich a curriculum in a modern classroom. Subscriptions to digital libraries, collaborative projects with peers outside of ones own classroom and access to remote knowledge and expertise makes lessons richer in content and learning exciting in the process. Curriculum can be made relevant to the individuals needs. Instructional techniques have reached a level of maturity that permits the reuse of learning objects to fit a person’s learning needs and behaviour. Reusable learning objects also permit instructors to repurpose the use of a particular learning object.

Contemporary discussion on e-learning
8. E-Learning has expanded beyond the capabilities of older technologiesas it excels in the following functionalities.
• Interactivity and independence: Traditions of teaching and our habits of learning have always favoured certain passivity. Professors lectured and students listened and took notes; sometimes they asked questions but seldom did they contribute to the knowledge. That was also true for the older technologies of print, radio and television despite the hype. Active learning and independent learning though much aspired was hard to achieve given the limitation of the technology.
Multimedia materials coupled with other ICTs with their enhanced bandwidth and intelligence can change all of this. Good products make it possible for students to be active. Both teachers and students can control, manipulate and contribute to the information and knowledge generation. On the lowest and least valuable level, a learner simply controls the pace and order of presentation. But more is possible. Using ICTs students not only make choices about the pace and order of a presentation, but may also chose topics for explorations, take notes, answer questions, explore virtual landscapes, simulate experiments; enter, draw or chart data; create and manipulate images; make their own PowerPoint presentations and communicate with others.
Flexibility: Learning through multimedia materials provide enormous flexibility of use unlike the older technologies, which required learners to be assembled in a controlled environment at a specific time and location. Radio and television had to be rigidly tied to schedules developed centrally. But the new technologies are available for use at “anytime and anywhere”. The emergence of virtual education is very much a reflection of this versatility of the technologies. Learners can access their education or training at the workplace, home, and library or anywhere where a connection to a telephone and power supply is available.
• Connectivity: Connectivity is probably the most powerful feature of the new ICTs. Since the beginning of the last decade with the emergence of Local Area Networks [LANs], decreasing telecommunication costs, increased bandwidth and the emergence of the World Wide Web, access to education and training through the Internet has been on the increase. With a computer, appropriate software and access to an Internet service, students and teachers have access to every educational resource in the world, which is also connected similarly. This reach goes beyond another person; it also includes data banks of every kind, online libraries, millions of Web pages of educational content and primary locations such as laboratories and research centres where information and knowledge is generated
Assumptions Around Quality
9. Developing quality distance education capabilities at the tertiary level has special relevance to this country. The provision for higher education and the investment in education as a portion of GNP is probably not as high as it should be in this as well as many emerging economies. Against this limited provision is the huge need for putting in place educational systems that need to compensate for the deprivation of the past and the demands of the present and future. The participation in education by the appropriate age group in this country in proportionate terms is probably lower than its immediate neighbours like Malaysia and Singapore.

10. For the situation to improve and improve it must, the country must see the use of its limited educational resources extend dramatically beyond their present reach without significant increases in their financing. This would mean schools, colleges and universities have to transform their present practices of requiring students to come to them at their call to one where the teaching will have to travel to where the students are. It is in this context of increasing provision that I would wish to consider the question of quality and standards.

11. This concern for quality is predicated on a number of assumptions that all those who provide public services are expected to acknowledge. These assumptions relate to good governance, gender sensitivity, human rights, transparency access to information and perhaps most important of all, accountability. These are not unreasonable expectations – the community that pays for and nourishes us has the right to demand very clear accounting of the resources used, processes applied and benefits derived by public investment. In the case of education, the quality of the venture stands at the top of these accountabilities. There are at least three sources that need accounting from educators. They are:

• Society: By and large, a country’s educational system is paid for from the public sector, though this may be fast changing in some of our countries. Regardless whether the education is delivered by private enterprise or public services, there is a responsibility on the part of the Government to ensure that what the educational provider delivers is acceptable and is value for money. There is also an expectation that besides value for money, our educational systems will safeguard and transmit the communities’ values and heritage. Societies need assurances that educational systems are not failing in this responsibility.
• Clients: This group includes the students and employers of the products of the system. They desire to have the best education and training as possible and to have a certification that the particular levels of skills, knowledge and professional competence has been achieved, while at the same time it commands respect and carries a value.
• Subjects: There is an expectation that the knowledge, skills and attitude that comprise each subject must not be distorted, misused or suppressed during teaching. Those who teach must be accountable to their professional colleagues that the integrity of their discipline is upheld.

12. When we take these assumptions and apply them to distance or on line education, some aspects of quality considerations emerge. These have to do with:

• Access: How do we turn into practice our declarations of open, flexible and accessible learning; how user friendly is the organisation; has it attempted to aggressively remove impediments to learning whether these impediments are academic, economic, geographic and technologic?
• Instruction: Are the course materials and the structure of the programmes sensitive to learning difficulties; are they enabling and empowering; is there logic to the product; are the processes to develop learning products have the required checks, balances and review necessary to ensure the integrity of the subject; what about the face value of the product – is it packaged properly; elegantly produced and, finally, how efficiently is the product delivered; are product designers sensitive to the learners access to technology, etc?
• Support: Are systems in place to support the out of campus learner in terms of her or his learning difficulties; administrative requirements; peer consultation; library and laboratory needs as well as professional requirements.
• Learner outcomes: How often have we spoken of attrition rates and how quickly have we been at ascribing deficiencies of the student or her learning environment for failure. Yet, learner outcomes can be a good indicator of quality assurance in a distance education environment. These outcomes are often dictated by practices relating to clarity of learning materials, assessment purposes and systems, academic support. Adult learners express their frustration with the system often with their feet and attrition rates often signal dangers in the academic health of a distance teaching facility.
• Effectiveness and efficiencies: The cost-effectiveness and efficiencies of the system are overriding concerns for everybody in distance education. These factors have a major impact on the ways in which courses are designed, developed, delivered, assessed and supported.

Practising Quality

13. Nielsen in 1997 , when discussing quality issues relating to the training of teachers by distance education, referred to constraints that he described as internal and external, which impact on the delivery of good quality teacher training by using distance education. Those that were internal had to do with the relevance and quality of the curriculum and learning materials (seldom do they reflect student centredness); effectiveness of the learning processes (the presence or absence of student support as appropriate to the course); the quality of the assessment systems (assessment designed for traditional forms of training not being suitable for mature students studying at a distance); and effectiveness of system management (management systems that are insensitive to the difficulties of students who live and study away from campus). Those that were external constraints included student traits (lack of motivation, inadequate preparation, cultural challenges); funding (underfunding); organisational support (to ameliorate academic isolation, lack of sensitivity to environmental difficulties; lack of financial assistance); and infrastructural facilities (poor communication systems, socio-organisational support). As many of you know from your own experiences, these issues are not confined to just teacher training; every single distance education system that I am aware of has gone through more or less very similar kinds of experience. And in order to safeguard the quality of goods and services in such challenged environments, innovative ways have to be explored to deliver curriculum, at times circumventing even institutional bureaucracy. Technology or at least a consideration of technology for such purposes was never far away from these efforts.

In a book that he edited in 1984, Bates, commented that “developments in technology are bringing advantages to distance teaching and removing some of the disadvantages previously associated… through promises of lower costs, greater student control, more interaction and feedback as well as wider range of teaching functions and a higher quality of learning”. The last 15 years has seen some remarkable transformations taking place within the operating environment of global distance education in which the new technologies are playing a crucial role. Improvement in administrative efficiency, better student record management systems, improved course development protocols, a higher level of study centre support and student learning environments have all, in one way or another, benefited from the use of a variety of technologies. But, Technology, whether it is print or multimedia, does not teach; the techniques adopted simply enable the delivery of teaching from narrow to mass catchments while shifting the responsibility of learning away from the teacher to the learner. In the process, it transforms the relationship between teachers and learners. Even while we are entering the era where both multimedia and hypermedia are bringing together [elearning], under one umbrella, the essence of print, audio and video signals, computer-assisted instruction, conference and group learning, at the heart of the teaching and learning transaction will be institutions and teachers in them. The challenge for us will be to create pedagogies of learning within which modes of delivery will contribute to effective learning.

14. By deliberate design, those institutions that have built a sound reputation for good practise in distance education have been instrumental in making some fundamental changes to long held beliefs about where, when and how teaching and learning should take place. The critical issue is not where the students are located, but whether they can interact with a teacher or teaching programmes. Bringing about the desired levels of interaction between students, teachers and programmes will mean subscribing to a list of good principles. Many of you know these principles but in the context of this keynote, let me reflect a little:

• Good practice recognises the need for students to be well informed about the courses that are available to them. Courses of study vary in many aspects even within a programme. Well-designed courses make it transparent before students enrol, details such as aims, objectives, course synopsis, the position of the course in a programme, expected quantum of work, tasks that students are expected to do and criteria that will be used in recognising the completion of the course. Students need to know what they should do in order to make personal preparations before a course begins.
• Teacher learner contact is an essential part of a good educational environment. These occasions are not only good for motivating learners but also helpful in the context of overcoming learning problems. Learners are also able to use these occasions to measure their own value systems about their studies and their future.
• Active learning is healthy: Students do not learn much from memorising facts and reproducing set answers; they derive greater benefits by being active in their learning. Talking, listening, observing, discussing, writing and relating their own experiences and applying them in the context of their lessons are all part of an active learning process. Good practice in distance teaching does this effectively.
• Peer support in learning is highly beneficial. Sharing one’s own ideas and responding to the ideas of others to improve thinking and increasing understanding. Learning can improve by it being a team effort rather than a collection of solo performances. Study centre facilities provide valuable opportunities for peer-supported learning.
• Feedback and encouragement: Knowing what you know and what you do not know can be a focus of future learning. Regular feedback on their performance helps students learn better and deeper.
• Paced learning: Using time effectively is critical for students; what this means to teaching is a clear understanding of appropriate pacing of learning through tools such as assignments, tutorials, broadcast programmes, computer conferencing, etc.
• Learning pathways must be mapped to facilitate different styles of learning.

15. Besides good practice, which must be at the heart of any quality consideration in the practice of distance education, there are three other aspects of distance and open learning that are crucial to its good health. Let me reiterate this once again. They are:

• Access: supporters of open and distance learning will claim that their educational mission is to provide access and equality of opportunity for learning, especially to individuals and groups who have been denied this before. As has been argued before, success in providing access is not a sufficient condition for claiming greater opportunity. “Equality of opportunity is a matter of outcomes, not merely resource availability”; in other words, providing access is merely a starting point and equality can only be achieved if the people provided with such opportunities are helped towards achieving their own goals.
• Cost considerations: The cost efficiency and effectiveness of distance education systems are overriding concerns for all of us. These considerations have a major impact on policy issues, and any measurement of the quality of a distance education system will have to take into account costs and benefits.
• Infrastructure: Delivering education to students off-campus needs infrastructure that are supportive of the teaching and learning environment. This infrastructure should have among other items, the following bare essentials:
i. all those who deliver content must have the skills to use teaching methods that are resource-based;
ii. such teachers must be trained and provided with the technologies for the performance of their tasks;
iii. have provision for students to have access to the emerging communications and information technologies;
iv. management configures institutional resources and invests in the production of knowledge products and the pathways to deliver them; and
v. management prepares itself to cope with the diversity in the make up of its students, their goals and the context within which they learn.

16. Finally, even as the practice of distance education moves from the margins of educational practices to centre stage, its full potential to contribute to national development, equalising opportunities for all and drastically changing the nature of teaching and learning still continues to be untapped. In another context, Bill Gates, in his book the Road Ahead, reflected that “ . . . we are all beginning another great journey. We aren’t sure where this one will lead us either, but again I am certain this revolution will touch even more lives and take us all further”. It seems to me that how much further we can go with improving the delivery of high quality distance education is not completely governed by technology or other resources.

17. At the heart of quality will always be the professionalism, skill, knowledge and commitment of the women and men who are in and work for distance education. Simply relying on present habits or knowledge of instruction and technology will not be enough. We will be required to put in place, organisations and people who can deliver courses at any location chosen by the learner. We need new strategies for course development and certification. And we need arrangements that will link students among themselves; link students and tutors and tutors and tutors; we need a fresh look at our curriculum and we need a curriculum that is dynamic – not one that confines learners to fixed points, but one that is seamless and open. I am told that we have the knowledge, experience and skill to do all these. Crucially, we also have today, the technology to enable us to achieve these ideals. What is needed is the collective will to make it all happen.

[1] Daniel, J [1996] Mega Universities and Knowledge Media, Technology Strategies for Higher Education. Kogan Page, London.
[1] Drucker, P. [1999]: Beyond the Information Revolution. The Atlantic Monthly, October 1999.
[2]Gardner, J.W. [1996]: as quoted by Jim Carroll in Surviving the Information Age. Canada, Prentice Hall

[1] Wawasan Open University, Penang, Malaysia

Memandang ilmu Pengetahuan dan teknologi dari kacamata Islam

Memandang ilmu Pengetahuan dan teknologi dari kacamata Islam
• Monday, September 17, 2007, 1:35
• by: maydina
• in: Uncategorized
• 1 comment
Di era globalisasi ini, perkembangan ilmu dan teknologi sangat cepat. Sejumlah penemuan dan inovasi memberikan kontribusi yang tinggi munculnya produk-produk baru yang membudahkan pekerjaan manusia. Akan tetapi sangat disayangkan kebanyakan para ilmuwan yang muncul berasal dari negeri barat yang rata-rata bukan berasal dari kaum musalimin. Lantas dimanakah para ilmuwan muslimin itu? Bukankah dalam islam disebutkan bahwa tiap muslim itu diwajibkan menuntut ilmu?Apakah kaum muslimin kini menyadari bahwa kita sedang mengalami apa yang dimaksud engan Ghozwul Fikri (Perang pemikiran)?
Definisi Ilmu dan Ilmu Pengetahuan
Menurut Sutrisno Hadi, ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur.
Sedangkan ilmu itu sendiri (yang berasal dari kata science) adalah rangkaian keterangan tentang sesuatu yang berasal dari pengamatan gejala-gejala alamiah (fenomena) melalui studi dan pengalaman yang disusun dalam sebuah sistem untuk menentukan hakekat dari yang dimaksud. Dari pengertian ini terlihat bahwa rasio lebih dominan.
Menurut pemikiran manusia secara umum, hakekat ilmu adalah hubungan antara subyek terhadap obyek (timbale balik) menurut suatu idea (cita-cita). Selain definisi tersebut, masih banyak definisi lain tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dari para ahli, tetapi bagaimana halnya menurut Al-Qur’an?
Pada Al-Baqarah:31 secara fungsional berlaku pada kita bahwa ilmu yang pertama adalah wahyu Allah. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Dan juga dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 1 dan 2 bahwa Al-Qur’an adalah suatu ilmu.(Tuhan ) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur’an..
Dan yang dimaksud ilmu dalam Al-Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah.yang diberikan kepada manusia baik melalui rasu-Nya ataupun langsung kepada manusia yang menghendakinya tentang alam semesta sebagi ciptaan Allah yang bergantung menurut ketentuan dan kepastian-Nya.
Al -Qur’an sebagai sumber dari segala Ilmu Pengetahuan
Terkadang manusia tidak menyadari bahwa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pemikiran mereka akan alam beserta isinya terdapat dalam Al-Qur’an. Namun bukannya justru kembali ke Al-Qur’an, malah mencari sumber dari berbagai buku, internet dan sebagainya. Padahal jawaban dari masalah pengetahuan itu secara tersurat/tersirat terdapat dalam Al-Qur’an.
Mulai dari hal yang kecil, seperti Metodologi Penelitian. Islam memandang bahwa dalam menyususn penelitian, seorang peneliti harus dapat memandang permasalahan secra jujur an melepaskan subyektifnya, baik subyektif dalam hal perasaan ataupun lingkungannya. Dalam Al-Maidah ayat 27-31 disebutkan bahwa seorang anak Adam yang mengambil kesimpulan berdasarkan subyektifnya, akan berakibat melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap saudaranya. Akibat dari tindak-tanduknya yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas, membuatnya bingung sendiri. Selain itu, ayat ini menjelaskan bahwa manusia banyak pula mengambil pelajaran dari alam dan jangan segan-segan mengambil pelajaran dari yang lebih rendah tingkatan pengetahuannya.
Berikut ini beberapa potongan ayat tentang teknologi
Yunus:101,
Katakanlah:”Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfat tanda kekuasaan Allah dan asul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”
Thaahaa:114
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katkanlah:”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku Ilmu Pengetahuan
Al-Mulk:3-4
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali padamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.
Al-Alaq:1-5
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ijtihad
Beberapa kasus/masalah ilmu pengetahuan yang tidak terjawab oleh Al-Qur’an secara gamblang (disebabkan kondisi yag berbeda), dapat dicarikan jawaban/solusi dengan ijtihad, yaitu: bersungguh-sunguh /kesungguhan dalam rangka memahami hidayah yang diberikan oleh Allah.Menurut Mahmud Syaltout, salah satu wawasa yang menjadi focus dalam kegiatan ijtihad adalah bagaimana usaha untuk memahami makna Al-Qur’an dan Al-Hadis sehinga kesimpulannya menjadi jelas.

Ghozwul Fikri-perang pemikiran
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sedemikian cepat, membuat manusia terlena. Disadari atau tidak secara tidak langsung, para kaum Nasrani dan Yahudi mengubah pola perang mereka, dari fisik menjadi pemikiran. Melalui teknologi, saluran komunikasi, informasi perang itu terjadi. Lihat saja berbagai situs di internet yang terkadang kita tidak diketahui sumbernya beanr/tidak, menjadi saluran/strategi perang pemikiran yang efektif. Lihat saja kenyataannya, tidak sedikit situs-situs jaringan seperti Friendster, dsb menjadi rutinitas dan hal yang utama bagi tiap remaja untuk mencari teman, dsb. Dan bila kita tidak cerdik mengikapi perkembangan teknologi dan informasi ini, kita bisa terseret bahkan menjadi budak teknologi. Dan tidak sedikit terjadi waktu sholat/ibadah terbuang karena ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan bila manusia telah jauh dari Iman, dari islam dan Tuhannya, ilmu yang ia miliki tidak akan memberi manfaat, malah dapat menjadi penghambat atau menimbulkan kerusakan.
Oleh sebab itu sebagai insan cendikia yang bernafaskan islam, sudah selayaknya dalam menuntut ilmu dan mengikuti perkembangan teknologi, hendaknya juga dilandasi oleh iman, dan secara cerdik memanfaatkan saluran informasi dan teknologi itu untuk menghadapi perlawanan terselubung kaum Nasrani dan Yahudi. Sudah seharusnya kaum muslimin mengendalikan teknologi untuk kebaikan bukan menjadi budak teknologi sehingga dapat menghadapi Ghozwul Fikri.
Al-Maaidah:75,
… Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-anda kekuasaan (kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu)
Al-Hajj:46
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Ar-ruum:50
Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allha, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati.Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu
Daftar pustaka
Al-Qur’an dan terjemahannya
Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an sumber segala disiplin ilmu.Gema Insani Press:1996.
Jusuf, H.Z. Pendidikan Agama Islam (suatu analisis ransangan afeksi).IKIP Jakarta.1990
Ditulis dalam rangka memenuhi tugas akhir perkuliahan Agama Islam II, UNJ, 2006
http://tpers.net/kontrak-belajar-dalam-e-learning

Kontribusi Pembinaan Mahasiswa oleh Dosen Terhadap Kegairahan Belajar Mahasiswa

Kontribusi Pembinaan Mahasiswa oleh Dosen Terhadap Kegairahan Belajar Mahasiswa



Ditulis oleh Rita Zahara
Abstrak
Keberhasilan dari proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor yang merupakan komponen pembelajaran. Salah satu faktor dari komponen pembelajaran adalah faktor dosen sebagai pembina mahasiswa. Salah satu keberhasilan dari pembinaan dosen dengan berupaya menciptakan suasana kegairahan belajar mahasiswa, yang dapat ditumbuhkan baik dalam situasi akademik dan non akademik.
A. Latar Belakang Masalah
Seorang dosen berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar ( PBM ), bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif, mengembangkan materi perkuliahan dengan baik, dan meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk merespon materi kuliah dan memahami tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Dalam memenuhi harapan tersebut dosen dituntut mampu mengelola PBM dengan baik dan maksimal yang dapat memberikan rangsangan kepada mahasiswa sehingga mahasiswa tertarik untuk belajar karena memang mahasiswa merupakan subjek utama dalam belajar. Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya sifat – sifat mahasiswa yang afektif yang berupa minat, perhatian dan motivasi mahasiswa dalam belajar.
Dalam kegiatan pembelajaran seorang pengajar harus menguasai tugasnya sebagai profesi yang meliputi tugas mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada mahasiswa. Kondisi belajar mengajar efektif harus diciptakan karena kadang kala terdapat kecenderungan dosen dalam PBM hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan tanpa memberikan arahan dan bimbingan kepada mahasiswanya. Arahan dan bimbingan yang dilakukan dosen kepada mahasiswanya bisa berupa arahan dan bimbingan mengenai prinsip-prinsip hidup, arahan bagaimana cara mencapai cita-cita hidupnya, arahan dan bimbingan kepada mahasiswa menyangkut bagaimana cara belajar yang efektif dan benar, bimbingan karier mahasiswa setelah lulus, arahan hidup bermasyarakat dengan baik sehingga mahasiswa tersebut diharapkan pandai menempatkan dirinya di masyarakat , selanjutnya arahan dan bimbinan dalam menghadapi situasi kerja seperti persiapan apa atau keterampilan apa yang harus dimiliki mahasiswa agar mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Jadi mendidik tidak hanya membuat mereka / mahasiswa tahu ilmu pengetahuan, teknologi serta kemampuan mengembangkannya, tetapi mendidik membuat mahasiswa menjadi sopan, taat, loyal, hormat, sederhana, jujur,setia, serta memiliki motivasi untuk belajar yang diwujudkan dalam bentuk adanya kegairahan belajar pada diri mahasiswa. Dengan demikian mendidik adalah membantu mahasiswa dengan penuh kesadaran baik dengan alat maupun tidak untuk mengembangkan dan menumbuhkan kemampuan serta peran dirinya sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai umat Tuhan.
Akibat kurangnya pemberian pembinaan yang mengarah pada ranah afektif banyak mahasiswa yang kurang antusias dalam proses pembelajaran. Mahasiswa kurang bersemangat dalam belajar sehingga banyak mahasiswa yang tidak hadir atau keengganan dalam mengikuti pembelajaran dengan berbagai alasan. Hal tersebut sangat memprihatinkan bagi penulis terlebih-lebih terjadi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Langlangbuana ( FKIP UNLA ) Bandung, ada sebagian mahasiswa-mahasiswanya yang kurang memiliki kegairahan dalam belajar, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan yang mengarah pada mengapa mahasiswa tersebut kurang bergairah dalam belajar, apakah dosennya yang membosankan dalam menyampaikan materi pelajaran, apakah sistem dan budaya di lingkungan kampus yang terlalu longgar dalam menerapkan disiplin belajar atau apakah ada faktor eksternal yang mempengaruhi kegairahan belajar mahasiswanya.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana proses pembinaan terhadap mahasiswa yang dilakukan Dosen dalam proses pembelajaran ?
2. Bagaimana tingkat kegairahan mahasiswa ?
3. Bagaimana kontribusi dari pembinaan yang dilakukan dosen kepada mahasiswanya dalam upaya menciptakan kegairahan belajar mahasiswa?
C. Tujuan Penelitian
1. Proses pembinaan terhadap mahasiswa yang dilakukan Dosen dalam proses pembelajaran.
2. Tingkat kegairahan mahasiswa.
3. Kontribusi dari pembinaan yang dilakukan dosen kepada mahasiswanya dalam upaya menciptakan kegairahan belajar mahasiswa.
D. Kegunaan Penelitiaan
1. Kontribusi bagi FKIP UNLA Bandung, hasil penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana penilaian mahasiswa terhadap dosen dalam proses pembinaan yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa sebagai upaya meningkatkan kegairahan belajar mahasiswa serta mengungkapkan bagaimana persepsi mahasiswa mengenai kegairahan belajar yang dirasakan mahasiswa itu sendiri. a. Melakukan peninjauan, penelaahan serta evaluasi penyelenggaraan institusi, secara khusus dalam hal upaya peningkatan kualitas proses pengajaran di FKIP UNLA Bandung.
2. Kontribusi bagi para pengajar, secara teoritis dan praktis dapat mengembangkan ilmu pendidikan, serta dapat melakukan peninjauan, penelaahan, dan evaluasi terhadap tindakan-tindakan atau upaya-upaya pembinaan yang harus dilakukan dalam upaya menciptakan kegairahan belajar.
E. Hipotesis
H0 = Ada pengaruh pembinaan yang dilakukan dosen kepada mahasiswa terhadap kegairahan belajar mahasiswa.
H1 = Tidak ada pengaruh pembinaan yang dilakukan dosen kepada mahasiswa terhadap kegairahan belajar mahasiswa
F. Pembinaan Dosen
Keberhasilan proses pembelajaran salah satunya ditentukan oleh proses pembinaan yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa. Tugas dan tanggung jawab dosen sebagai Pembina mahsiswa dituntut tidak hanya mampu menyampaikan materi perkuliahan tetapi juga harus memiliki kemampuan memotivasi belajar mahasiswa dengan menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dengan harapan dapat menumbuhkan gairah belajar mahasiswa sehingga tujuan utama pembelajaran dapat berhasil secra optimal.
Delapan keterampilan mengajar sebagai berikut:
1. Keterampilan bertanya perlu dikuasai tenaga pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dimana tujuannya untuk mengetahui tingkat daya serap dari materi yang disampaikan dalam pembelajaran.
2. Memberi penguatan ( Reinforcement ) merupakan respons yang dilalukan pengajar terhadap perilaku peserta didik yang positif sehingga dapat memungkinkan terulangnya kembali perilaku tersebut.
3. Mengadakan Variasi merupakan keterampilan yang harus dikuasai pengajar untuk mengatasi kebosanan peserta didik, agar selalu antusias dan penuh partisipasi.
4. Menjelaskan adalah mendeskrifsikan secara lisan tentang sesuatu benda, keadaan, fakta dan data sesuai dengan waktu dan hukum-hukum yang berlaku.
5. Membuka dan menutup pelajaran. Membuka dan menutup pelajaran merupakan dua kegiatan rutin yang dilakukan pengajar tentang memulai dan mengakhiri pembelajaran.
6. Membimbing diskusi kelompok kecil merupakan salah satu bentuk kegiatan pembelajaran yang melibatkan tiga sampai lima orang dalam setiap kelompok, berlangsung secara informal, memiliki tujuan yang ingin dicapai, dan berlangsung secara sistematis.
7. Mengelola kelas merupakan keterampilan pengajar untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dan mengedalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas: (1) Kehangatan dan keantusiasan, (2) tantangan, (3) Bervariasi, (4) Luwes, (5) Penekanan pada hal-hal positif, dan (6) Penanganan disiplin diri.
8. Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan pengajar memberikan perhatian terdapa setiap peserta didik dan menjalin hubungan yang lebih akrab antara pengajar dan eserta didik maupun antara peserta didik dengan peserta didik.
Menurut Mulyasa E, ( 2005 : 161 ) mengatakan bahwa:
“ Pengajar kreatif, profesional dan menyenangkan harus memiliki berbagai konsep dan cara untuk mendongkrak kualitas pembelajaran antara lain dengan mengembangkan kecerdasan Emosi ( emotional Quotient ), mengembangkan kreativitas ( Creativity Quotient ) dalam pembelajaran, mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, membangkitkan nafsu belajar, memecahkan masalah, mendayagunakan sumber belajar, dan melibatkan masyarakat dalam pembelajaran”.

G. Kegairahan Belajar
Proses pembelajaran tidak selalu efektif dan efesien dan hasil proses belajar mengajar tidak selalu optimal, karena ada sejumlah hambatan, karena itu, guru dalam memberikan materi pelajaran hanya yang berguna dan bermafaat bagi para siswanya. Materi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan mereka akan pelajaran tersebut. Belajar seperti ini akan lebih mengutamakan penguasaan ilmu, dan diyakini akan memberi peluang untuk siswa lebih kreatif dan guru lebih profesional. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna dimana guru mampu menciptakan kondisi belajar yang dapat membangun kreatifitas siswa untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas kepercayaan akan kemampuan dan motivasi siswa merupakan hal yang paling dasar yang harus ditanamakan sebagai upaya untuk menciptakan semangat dan kegairahan belajar mahasiswa. Selain itu membangun ikatan emosional antara pendidik dan peserta didik yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar.Sebagaimana yang diutarakan oleh Gardner ( dalam Bobbi Deporter, 2003:23 ) bahwa:
Kita harus menggunakan keadaan positif anak untuk menarik mereka ke dalam pembelajaran di bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan kompetensi…
Flow adalah suatu keadaan dimana seseorang sangat terlibat dalam sebuah kegiatan sehingga hal lain seakan tidak berarti. Flow adalah keadaan internal yang menandakan bahwa seorang anak mengerjakan tugas dengan tepat. Seorang harus menemukan sesuatu yang dia sukai, lalu tekunilah. Disekolah saat anak merasa bosan, mereka akan berontak dan berulah. Jika mereka dibanjiri tantangan, mereka akan mencemaskan pekerjaan sekolah. Tetapi seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan jika dia menyukai hal yang dia pelajari dan dia senang jika terlibat dalam hal tersebut.

Untuk menarik keterlibatan siswa, guru harus membangun hubungan, yaitu dengan menjalin simpati dan saling pengertian. Hubungan akan membangun jembatan menuju kehidupan- bergairah belajar siswa. Membuka jalan memasuki dunia baru mereka, mengetahui minat kuat mereka, berbagi kesuksesan-puncak mereka dan berbicara dengan bahasa-hati mereka. Membina hubungan biasa memudahkan pendidik melibatkan peserta didik, memudahkan pengelolaan kelas, memperpanjang waktu focus dan meningkatkan kegembiraan. Seorang pendidik di dalam melakukan pembinaan akan mencapai hasil lebih tinggi jika mereka menyingkirkan segala ancaman, melibatkan emosi siswa, dan membangun hubungan.
H. Pengaruh Pembinaan yang dilakukan Dosen terhadap kegairahan belajar mahasiswa
Banyak penelitian yang dilakukan terhadap pengaruh guru terhadap para siswa. Hasil-hasil penelitian selalu menunjukan bahwa para siswa yang di bimbing oleh guru yang memiliki kesehatan mental yang baik memperlihatkan setabilitas emosional yang lebih tinggi dari pada para siswa yang dibimbing oleh guru yang mentalnya kurang sehat.sementara itu, bedasarkan hasil-hasil penelitian tentang pengaruh adjustment guru-guru terhadap perkembangan anak-anak tidak perlu dipertanyakan lagi karena keadaan kesehatan mental guru-guru memang mempengruhi tingkah laku para siswa yang dibimbingnya.
Dalam hubungannya dengan pembentukkan sikap, perasaan senang atau tidak senang, cita-cita dan sebagainnya ada yang berpendapat bahwa hal-hal tersebut tidak diajarka dengan sengaja, tetapi merupakan hasil tambahan atau by product dari belajar formal, yaitu belajar yang disengaja dan dipimpin serta diarahkan oleh pendidik, tetapi yang paling Penting adalah suasana kelas dan tindakan-tindakan pendidik dalam mempengaruhi pembentukan sikap dan perasaan para peserta didik. Suasana perkuliahan yang tegang akibat sikap dan tindakan pendidik yang otoriter, suka mencela, dan tidak mau mengerti tentang keadaan mahsiswanya akan berlainna pengaruhnya terhadap para mahasiswa dibandingkan dengan suasana di mana seorang Dosen dapat menciptakan iklim belajar-mengajar yang hangat, demokrasi dan mengerti serta menghargai pendapat para mahasiswanya, sikap saling menghargai tak mungkin tumbuh pada diri mahasiswa bila dosen sendiri tidak dapat menunjukkan sikap menghargai terhadap individu para mahasiswanya.
Dua hal menjadi jelas dari kriteria di atas, yaitu 1) Guru yang baik melihat tujuan mereka dan mereka bekerja dengan penuh keyakinan, 2) Guru harus memberi contoh tentang kebiasaan belajar, memberikan perhatian dan usaha yang berencana tentang pengembangan dirinya secara terus-menerus melalui belajar.
Hasil-hasil penelitian tentang ciri-ciri pendidik yang efektif menunjukkan bahwa suasana manusiawi ( the human climate ) untuk belajar lebih penting daripada prosedur mengajar yang spesifik.
Sedangkan menurut pandangan mahasiswa sifat-sifat karakteristik pendidik yang disenangi oleh para siswa adalah guru-guru yang: 1) Demokratis, 2) Suka bekerja sama ( Kooperatif ), 3) Baik hati, 4) Sabar, 5) Adil, 6) Konsisten, 7) Bersifat terbuka, 8) Suka menolong, dan 9) Ramah tamah. Sifat-sifat lain yang disenangi siswa adalah: 1) Suka humor, 2) memiliki bermacam ragam minat, 3) Menguasai bahan pelajaran, 4) Fleksibel, dan 5) menaruh minat yang baik terhadap siswa.
Pendidik yang demokratis memberikan kebebasan kepada anak disamping mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu, tidak bersifat otoriter dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan serta dalam berbagai kegiatan. Pendidik yang suka bekerja sama bersikap saling memberi dan saling menerima dan dilandasi oleh kekeluargaan dan toleransi yang tinggi. Pendidik yang baik hati bersikap suka memberi dan berkorban untuk kepentigan anak didiknya. Pendidik yang sabar tidak suka marah dan lekas tersingggung serta suka menahan diri. Pendidik yang adil tidak bersikap membeda-bedakan anak dan memberi anak sesuai dengan kesempatan yang sama bagi semuanya. Pendidik yang konsisten selalu berkata sama dan bertindak sama sesuai dengan ucapannya baik dulu maupun seterusnya . Pendidik yang bersifat terbuka akan bersedia menerima kritik dan saran dan kalau perlu mengakui kekurangan dan kelemahannya. Pendidik yang suka menolong senantiasa siap membantu anak-anak yang mengalami kesulitan atau masalah tertentu. Pendidik yang ramah tamah mudah bergaul dan disenangi oleh semua orang; dia tidak sombong dan bersedia bertindak sebagai pendengar yang baik di samping sebagai pembicara yang menarik. Pendidik yang suka humor banyak disenangi oleh para peserta didik dengan kepandaiannya membuat siswa menjadi gembira dan tidak tegang atau terlalu serius. Pendidik yang memiliki berbagai macam minat akan merangsang siswa dan dapat melayani berbagai minat. Pendidik yang menguasai bahan pelajaran dapat menyampaikan materi pelajaran dengan lancar dan menumbuhkan semangat dikalangan mahasiswa. Pendidik yang fleksibel umumnya tidak bersikap kaku. Pendidik yang menaruh minat terhadap siswa menyebabkan anak merasa diperhatikan dan dihargai.
I. Metoda dan Sifat Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode deskritif tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta koneksi antar fenomena yang diselidiki.
Sifat penelitian adalah kuantitatif, karena akan mengkorelasikan dua kelompok data tentang pembinaan Dosen dan Kegairahan belajar mahsiswa dengan melakukan uji statistik.
J. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas = X, yaitu pembinaan yang dilakukan dosen kepada mahasiswa.
2. Variabel terikat = Y, yaitu Kegairahan belajar mahasiswa.
Indikator dalam penelitian adalah: Pembinaan Dosen diartikan sebagai pembinaan yang dilakukan dosen kepada mahasiswanya baik pembinaan dari segi akademik maupun non akademik dan pembinaan yang difokuskan pada sifat-sifat kogitif, afektif dan psikomotor, dimana pembinaan yang dilakukan oleh dosen secara psikologis dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh mahasiswa sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap kegairahan belajar yang ada pada diri mahasiswa. Indikator variabel X ini dituangkan dalam sejumlah item pernyataan-pernyataan dan di buat dengan menggunakan skala likert yang memang secara teoritik memadai untuk digunakan dalam pengukuran dari pembinaan mahasiswa oleh dosen.
Sedangkan Variabel Y yang berupa kegairahan belajar merupakan keadaan yang bersifat psikologis yang dirasakan oleh mahasiswa terhadap pembinaan yang dilakukan oleh dosen yang bersangkutan.
K. Sumber Dan Jenis Data
Data yang diperlukan di dalam penelitian ini, selain bersumber dari responden juga bersumber dari informan.
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari mahasiswa, tentang:
a. Pembinaan yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa dalam menciptakan kegairahan belajar mahasiswa.
b. Mengukur tingkat kegairahan belajar mahasiswa
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari institusi yang berkaitan dengan penelitian ini.
L. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Langlangbuana Bandung khususnya Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Ekonomi BKK Akuntansi yang berjumlah 117 Mahasiswa.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 71 mahasiswa dari 117 mahasiswa dengan menggunakan teknik pengambilan Sampel Random Sampling ( SRS ).
M. Teknik pengumpulan data
1. Kuisioner (daftar pernyataan)
2. Studi dokumenter.
N. Instrumen Pengumpulan Data
Angket penelitian ini merupakan pernyataan tertulis yang diajukkan kepada seluruh responden yakni seluruh mahasiswa yang ada d Jurusan PIPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Langlangbuana Bandung. Angket ini untuk mengungkap persepsi mahasiswa tentang variable – variable yang diteliti yaitu tentang pembinaan dosen terhadap mahasiswa dan dampaknya terhadap tinggi rendahnya kegairah belajar mahasiswa.
Pernyataan kuesioner terdiri dari 60 pernyataan yang dikembangkan dari indikator. Nilai dari indikator tersebut menggunakan model skala likert.
Jumlah nilai tersebut merupakan nilai ordinal, sehingga nilai tersebut dikonversikan ke nilai baku, yaitu Z score

Instrumen penelitian tidak diuji lagi mengenai validitas dan realibilitasnya, karena kuesioner tersebut merupakan kuesioner yang sudah baku dan telah diuji coba.
O. Teknik Pengolah Data
Pengolahan data hasil penelitian setelah kedua data dibuat table statistiknya dilakukan uji korelasi yang sesuai dengan langkah-langkah penentuan korelasi antara dua variable. Sebelum dilakukan uji korelasi terlebih dulu data tersebut diubah kedalam bentuk data interval dengan menggunakan transformasi Z skor sebagai berikut , Nurgana (1993:70).
Setelah datanya dalam bentuk interval dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Uji Normalitas dari kedua kelompok data tersebut
Pengujian normalitas digunakan uji Shapiro Wilk, Lillieforts serta gambar normal probability plots (Santoso, 2005: 209).
Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut:
a. Buka file deskriptif.
b. Dari menu utama SPSS, pilih menu analyze, lalu submenu descriptive statistics. Kemudian pilih explore.
c. Pengisian data, dependent list, masukan variable prestasi. Factor list masukan pendidikan orang tua.
d. Kemudian klik mouse pada pilihan normality plots with test (Santoso, 2005: 209).
2. Analisis Regresi Linier
Analisis regresi adalah suatu analisis untuk mengetahui besarnya pengaruh perubahan X terhadap perubahan Y. Teknik ini dipakai untuk mempelajari hubungan yang ada diantara variabel-variabel sehingga dari hubungan yang diperoleh dapat menaksirkan nilai variabel dependent (Y) apabila nilai variabel independentnya (X) diketahui. Untuk keperluan penelitian ini, peneliti mengasumsikan data yang diperoleh berdistribusi normal dan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen merupakan hubungan linier, maka persamaan regresinya adalah sebagai berikut: Menentukan persamaan regresi linear sederhana dengan dan

3. Analisis Koefisien Korelasi
Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara dua variabel yaitu kekuatan hubungan antara variabel independent (X) dengan variabel dependent (Y) diformulasikan sebagai koefisien korelasi r, dengan formula:

Nilai koefisien korelasi r adalah : -1  r  1, artinya:
a. Bila nilai r = -1, maka korelasi antara dua variabel dikatakan sangat kuat dan negatif. Korelasi negatif berarti hubungan antara kedua variabel bersifat berlawanan arah data arti bahwa apabila terjadi kenaikan nilai variabel X maka akan diikuti oleh penurunan nilai variabel Y dan sebaliknya.
b. Bila nilai r = 0 atau mendekati 0, maka hubungan antara kedua variabel sangat lemah atau tidak terdapat korelasi sama sekali.
c. Bila nilai r = 1 atau mendekati 1, maka kedua variabel dikatakan sangat kuat dan positif. Korelasi positif berarti hubungan antara kedua variabel bersifat searah, dengan kata lain kenaikan atau penurunan nilai X akan diikuti dengan kenaikan atau penurunan nilai Y.
Untuk dapat memberi interprestasi terhadap kuatnya hubungan kedua variabel digunakan pedoman seperti pada tabel di bawah ini:
4. Analisis Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi merupakan kuadrat dari koefisien korelasi (r2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independent (X) terhadap variabel dependent (Y) atau seberapa besar kontribusi variabel X terhadap variabel Y yang dapat dihitung dengan rumus:
Kd = r2 x 100%
Keterangan :
Kd = Koefisien determinasi
= Koefisien korelasi
Karena nilai Kd merupakan kuadrat dari r, maka koefisien determinasi tidak pernah negatif dan paling besar sama dengan satu. Dengan demikian besarnya nilai Kd adalah .
5. Uji Hipotesis
Menguji keberartian koefisien korelasi dengan uji t dengan rumus , Adapun perumusan Ho dan Ha sebagai berikut:
Ho:  = 0: artinya tidak ada pengaruh antara variabel X ( Pembinaan yang dilakukan dosen) terhadap variabel Y (kegairahan belajar mahasiswa ).
H1:  ≠ 0: artinya ada pengaruh antara variabel X ( Pembinaan yang dilakukan dosen) terhadap variabel Y (kegairahan belajar mahasiswa).
Dalam pengujian ini peneliti menggunakan distribusi student “t” dengan derajat kebebasan (dk) = n – 2 serta tingkat signifikan () = 0,05. Tingkat signifikan yang digunakan dalam penarikan kesimpulan ini sebesar 0,05 memiliki arti bahwa kemungkinan penarikan kesimpulan mempunyai probabilitas sebesar 95% atau toleransi kesalahan sebesar 5%. Tingkat signifikan sebesar 0,05 ini dipilih oleh peneliti karena tingkat ini dinilai cukup ketat untuk mewakili hubungan antara variabel-variabel di atas dan merupakan tingkat signifikan yang cukup namun digunakan dalam penelitian-penelitian ilmu sosial.
Selanjutnya hasil t hitung dibanding dengan t tabel dimana kriteria yang digunakan adalah:
Jika , maka ditolak dan jika , maka diterima.
Berdasarkan hasil analisis, jika Ho ditolak karena t hitung lebih besar daripada t tebel berarti ada peranan antara variabel X (Pembinaan yang dilakukan dosen) dengan variabel Y (kegairahan belajar mahasiswai). Sebaliknya, jika Ho diterima karena t hitung lebih kecil daripada t tabel berarti tidak ada hubungan yang berarti antara variabel X (Pembinaan yang dilakukan dosen) dengan variabel Y (kegairahan belajar mahasiswai).
P. Hasil Penelitian
1. Pembinaan yang Dilakukan Dosen Kepada Mahasiswa
Pencapaian hasil pembinaan dengan menggunakan skala likert diperoleh rata-rata hitungnya adalah 108.4507, sedangkan median atau nilai tengahnya jika data itu diurutkan menurut besarnya adalah 108. Kemudian modusnya atau modenya yaitu data yang frekuensinya paling banyak adalah 106, yang merupakan multiple mode, selanjutnya rata-rata penyimpangannya (deviasi rata-rata) atau yang sering kita sebut dengan standar deviasi adalah 20.30256. Pencapaian hasil pembinaan dengan menggunakan skala likert terendah adalah 54, sedangkan tertingginya adalah 147. dan jangkauannya atau rangenya adalah data tertinggi (maksimum) dikurangi data minimum diperoleh 93.
Penentuan interval kategori untuk variabel pembinaan dosen didasarkan pada skor ideal, dimana nilai tertinggi diberi skor 5 dan untuk nilai terendah diberi skor 1, maka jangkauan dibagi 5 katagori diperoleh 93 : 5 = 18,6.
Tidak baik Kurang baik Cukup baik Baik Sangat baik
54 – 72,60 72,61 – 81,20 81,21 – 89,80 89,81 – 108,60 108,21 – 147

2. Kegairahan Belajar Mahasiswa
Pencapaian hasil kegairahan belajar dengan menggunakan skala likert diperoleh rata-rata hitungnya adalah 118.7324, sedangkan median atau nilai tengahnya jika data itu diurutkan menurut besarnya adalah 119. Kemudian modusnya atau modenya yaitu data yang frekuensinya paling banyak adalah 122, selanjutnya rata-rata penyimpangannya (deviasi rata-rata) atau yang sering kita sebut dengan standar deviasi adalah 1,06148. Pencapaian hasil kegairahan belajar terendah adalah 96, sedangkan tertingginya adalah 142. dan jangkauannya atau rangenya adalah data tertinggi (maksimum) dikurangi data minimum diperoleh 46.
Penentuan interval kategori untuk variabel kegairahan belajar didasarkan pada skor ideal, dimana nilai tertinggi diberi skor 5 dan untuk nilai terendah diberi skor 1, maka jangkauan dibagi 5 katagori diperoleh 46 : 5 = 9,2. dan dikatagorikan sebagai berikut:

Tidak baik Kurang baik Cukup baik Baik Sangat baik
96,00 – 105,20 105,21-114,40 114,41-123,60 123,61 – 132,80 132,81-142

3. Pengaruh Pembinaan Dosen terhadap Kegairahan Belajar
Pada bagian ini akan menguji hipotesis yang telah ditetapkan di muka. Hipotesis tersebut adalah:
, yang berarti tidak terdapat pengaruh pembinaan dosen terhadap kegairahan belajar mahasiswa di FKIP Unla Bandung. Kemudian yang berarti terdapat pengaruh pembinaan dosen terhadap kegairahan belajar mahasiswa di FKIP Unla Bandung.
Langkah pengujian hipotesis:
a. Mengubah data ordinal menjadi interval dengan menggunakan transformasi Z Menentukan persamaan regresi variabel Y atas variabel X dengan perhitungan ada pada lampiran 1 diperoleh persamaan regresi Persamaan Regresinya adalah
b. Analisis Korelasi
Dengan perhitungan dengan menggunakan SPSS V.12.0 ternyata r hasilnya positif, diperoleh koefisien korelasi sebesar r = 0,517 (perhitungan ada pada lampiran 2), maka antara pembinaan dosen dengan kegairahan belajar sebesar 0,517.
Kemudian untuk menguji kebermaknaan korelasi digunakan diuji dengan menggunakan uji t diperoleh atau . Nilai t dari daftar untuk taraf nyata 0,05 dan dk = 69 dicari dengan menggunakan table diperoleh t untuk dk = 69 adalah 2,66. Ternya thitung lebih besar tdaftar sehingga hipotesis diterima yang berarti ( berarti ada pengaruh). Dengan demikian, maka hipotesis mengenai yang berarti terdapat pengaruh pembinaan dosen terhadap kegairahan belajar mahasiswa di FKIP Unla Bandung, diterima
c. Untuk melihat Koefisien determinasi merupakan kuadrat dari koefisien korelasi (r2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y) atau seberapa besar kontribusi variabel X terhadap variabel Y yang dapat dihitung dengan rumus:
Kd = r2 x 100%
Keterangan :
Kd = Koefisien determinasi
R = Koefisien korelasi

Artinya variabel pembinaan dosen terhadap kegairahan belajar mahasiswa di FKIP Universitas Langlangbuana Bandung memberikan kontribusi sebesar 26,73 %.. Sedangkan sisanya sebesar 100 % dikurangi 26,73 % samadengan 73,27 % adalah variabel lain yang tidak diteliti.
Q. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas penulis merasa perlu untuk menyampaikan saran-saran, sebagai berikut :
1. Kepada Pihak Fakultas, Pimpinan fakultas hendaknya lebih memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pengembangan dosen, dengan diikutsertakan dalam pendidikan dan pelatihan pembelajaran untuk memperluas wawasan pengetahuan tentang masalah-masalah pendidikan, sering melakukan koordinasi dengan dosen untuk shering masalah pembelajaran.
2. Kepada Dosen, Dengan hasil persepsi mahasiswa tentang pembinaan dosen yang dinilai sudah baik menurut mahasiswa, hendaknya tetap dipertahankan untuk dilakukan, akan lebih baik lagi jika pembinaan dosen lebih khusus diarahkan terhadap kebutuhan mahasiswa secara pribadi, pengembangan kemampuan dosen harus lebih ditingkatkan agar lebih kreatif dan inovatif.
3. Kepada mahasiswa, kegairahan belajar dapat ditumbuhkan dengan berbagai cara tidak terlalu pada pembinaan dosen saja, seperti hasil penelitian yang diperoleh setiap mahasiswa lebih mandiri terhadap kesadaran belajar itu lebih utama.
4. Kepada Peneliti Selanjutnya, hasil penelitian ini bila memungkinkan bisa dijadikan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya.

R. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi, 1991. Metode Penelitian Sirvai Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta : LP3ES
________________. 1993. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Abdulhak, I, 1996. Strategi Membangun Motivasi dalam Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung : AGTA Manunggal Utama.
Bloom,B.S. (1956 ). Taxonomy of Educational Objectives. London: Long Man Group Limitied.
DePorter, B. Dkk, 2003. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Hamalik, O, 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Mulyasa, E. ( 2005 ). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Poerwadarminta,W.J.S. (1976), Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sudjana. (1996 ). Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung : Tarsito.
Syamsudin, A. ( 1982 ) Psikologi Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung.
Sagala, S, 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Rooijakkers,Ad. 1984, Mengajar dengan sukses. Jakarta: PT Gramedia.
Usman,U. ( 2001 ). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.