Sabtu, 18 April 2009

Ali Syari’ati dan Pemikirannya: Islam Progresif-Revolusioner

Ali Syari’ati dan Pemikirannya: Islam Progresif-Revolusioner (2)
Posted on October 19th, 2007 in 13 Khazanah by redaksi

Abu Dzar-e Ghifari, didasarkan pada teks Arab penulis Mesir Kontemporer, Abdul hamid Judah Ali Syari’ati-Sahar. Dalam menterjemahkan teks tersebut Ali Syari’ati mengaku dengan leluasa memberikan interpretasi, perenungan dan komentarnya sendiri.
Dalam Abu Dzar-e Ghifari, Syari’ati menciptakan figur sebagai simbol kaum tertindas, pahlawan yang tegar menghadapi kekayaan, kekuasaan dan bahkan otoritas agama untuk menyelamatkan ‘Islam otentik’. Abu Dzar-e Ghifari adalah kreasi simbolis Syari’ati sebagai seorang Muslim yang tegar, revolusioner yang mengkhutbahkan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan pembebasan. Tujuan buku itu, seperti terlihat jelas melalui cara Syari’ati merujuk kepadanya di kemudian hari, adalah sebagai sarana untuk mengingatkan dan menjadi pelajaran yang jelas mengenai apa yang diyakininya sebagai perilaku Islam yang tepat di masa anti-nilai dan anti-pahlawan. Lebih jauh lagi, ditemukannya Abu Dzar oleh Syari’ati membuat ia yakin bahwa konsep-konsep seperti keadilan sosial, persamaan, kebebasan, dan sosialisme, yang sampai ke Iran melalui intelektual Barat, merupakan bagian integral warisan Islam. Karena itu, Syari’ati dengan bangga mengatakan: “Abu Zar adalah leluhur segenap madzab egaliter pasca-Revolusi Prancis”.
Beberapa waktu setelah kembali ke Iran pasca pengembaraan intelektualnya di Prancis, pada September 1964, Syari’ati mendapat kesempatan untuk mengartikulasikan seluruh idealismenya di Universitas Masyhad. Pada tahun 1969, ia menerbitkan karya monumental Eslamshenasi (Islamology) yang didasarkan pada naskah-naskah kuliah yang diberikan dalam suatu kursus tentang sejarah Islam. Secara garis besar, buku ini berisi benih-benih pemikiran Syari’ati yang menyatakan penentangannya terhadap kelompok intelektual terbaratkan (gharbzadegi/westoxication), yang pikirannya hanya didasarkan pada hasil terjemahan sumber asing yang tidak mampu melahirkan karya intelektual mandiri dan asli. Ia juga menyerang kaum ulama resmi pemerintah dan tradisional yang hanya bisa menjadi kaum lemah dan terhegemoni oleh kekuasaan besar. Mereka tidak mampu berbuat lebih dari sekedar seorang rohaniawan yang berbicara dari tempat sunyi dari realitas masyarakatnya.
Ada sekitar dua puluh enam buku Syari’ati yang diterbitkan dalam edisi Bahasa Inggris, di samping beberapa yang kemudian diterjemahkan dalam beberapa bahasa di antaranya bahasa Jerman, Italia, Prancis, Turki. Banyak pula yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Benang merah yang dapat ditarik dalam tulisan-tulisan Syari’ati tersebut berkisar tentang penentangan terhadap despotisme (rezim, Barat, dan ulama Resmi), konseptualisasi Sosiologi Islam, Kritik terhadap beragam ideologi (Marxisme, Eksistensialisme, Kapitalisme, Modernisme dan Liberalisme) serta gagasan-gagasan revolusioner Islam yang mengarah pada ideologisasi-radikalisasi Islam.
Islam Agama Pembebasan
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintream saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqih yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kedhaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn). Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Dalam konteks situasi politik saat Syari’ati hidup, wacana Islam mainstream itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyatnya, para ulama rezimis tersebut tidak mampu berbuat apa-apa untuk kepentingan rakyat. Justru ulama itu dipaksa untuk terus-menerus memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah. Syari’ati menganalogkan Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa. Sementara Islam otentik, sebagaimana yang dinyatakan Syari’ati, adalah Islamnya Abu Dzar, sahabat Nabi sang pencetus pemikiran sosialistik Islam.
Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, adalah jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi, entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa dhalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revolusioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara konsisten berada dalam aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang demikian itu berangkat dari faham bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah menugaskan kepada manusia sebagai khalîfah-Nya di muka bumi. Khalîfah dalam hal ini adalah pemangku tugas pembaharu dan selalu memimpin dunia dengan keadilan dan kearifannya. Jika ditemukan dalam penggalan sejarah manusia-manusia serakah yang aksinya menindas dan memperkosa hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia itu dari muka bumi. Khalîfah haruslah dalam posisi pro-aktif memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan, bukan manusia pasrah yang selalu menerima nasib secara taken for granted. Demikianlah yang dapat dikategorikan sebagai ajaran Islam progresif sebagaimana yang digagas oleh Ali Syari’ati.
Kata kunci progresifitas Islam adalah peran aktif dalam sejarah kemanusiaan. Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang kehidupan akhirat dan tidak melibatkan diri dalam dinamika sejarah sosial-politik manusia. Bentuk ajaran agama yang demikian ini yang telah melahirkan banyak kritik dari Karl Marx, sang revolusioner yang telah dituduh anti agama. Agama pasrah ini adalah agama candu yang akan melanggengkan segala bentuk kesewenang-wenangan dan penindasan. Dalam posisi ini, kata Marx, mereka yang tertindas akan dihibur oleh ajaran yang mengatakan bahwa penderitaan itu adalah takdir Tuhan dan pahala mereka adalah surga. Dan Syari’ati sangat setuju dengan pandangan Marx itu, khususnya dalam aspek bagaimana bentuk-bentuk penindasan itu tidak dilanggengkan oleh ajaran agama. Jika ini yang terjadi, maka Syari’ati pun akan senada dengan Marx, bahwa agama adalah candu (opium).
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani “polis” (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah “siyasah”, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan seekor kuda liar,”, suatu proses yang mengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.
Tauhîd Sebagai Dasar Islam Pembebasan
Pandangan Islam Ali Syari’ati yang progresif dan revolusioner bersumber pada satu sistem keyakinan yaitu tauhîd. Di tangan Syari’ati, istilah teknis tradisional tersebut menjelma menjadi radikal dan terkesan Jacobin, sosialis, idealis, sekaligus transhistoris. Dia menegakkan tauhîd sebagai pedang untuk memerangi perpecahan agama, pengotak-otakan pengetahuan, pemisahan Tuhan dengan manusia, serta ketidakbermaknaan kejadian sejarah yang terputus-putus.l Bersambung
Tauhîd dalam hal ini adalah pandangan dunia (world view) mistis-filosofis yang melihat jagad raya sebagai organisme hidup tanpa dikotomisasi, semua adalah kesatuan (unity) dalam trinitas antara tiga hipotesis: Tuhan, manusia, dan alam. Bagi Syari’ati, tauhîd menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Tanggungjawab seorang Muslim adalah untuk mengenali dan menerima tututan realitas dan menggerakkannya secara massif.
Bagi Syari’ati, kesatuan semesta raya adalah soal naluri dan keimanan. Hal ini tidak mungkin didapatkan melalui pembuktian empiris, sebab pengamatan terhadap dunia fenomena justru menggiringnya pada kesimpulan tentang keunikan dan keragaman. Dunia penuh dengan perbedaan dan kontradiksi, dan empirisme mencoba untuk mewadahinya tetapi tidak untuk mengatasinya. Logika bisa jadi membantu, namun tidak pernah mencukupi, karena logika tidak pernah sanggup menunjukkan kemencukupannya sendiri. Lebih dari itu, apa yang dimaksud kesatuan oleh Syari’ati meliputi juga kesatuan perasaan dan pengetahuan, cinta dan kebenaran, dan tentu saja secara definitif tidak dapat ditunjukkan di dalam wilayah pengetahuan belaka.
Jika tauhîd dalam pandangan Syari’ati adalah kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam semesta, maka kondisi masyarakat yang penuh diskriminasi sosial, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan dapat dikategorikan sebagai Syirk, lawan dari tauhîd. Dalam masyarakat Islam yang ber-tauhîd, terdapat kesatuan yang utuh yang bukan merupakan konstruk hukum.
Tauhîd memandang dunia sebagai suatu imperium, sedangkan lawannya Syirk memandang dunia sebagai sistem feodal. Dengan pandangan ini maka dunia memiliki kehendak, kesadaran diri, tanggap, cita-cita, dan tujuan. Dengan bersandar pada keyakinan ini, Syari’ati menolak politheisme, dualisme, dan trinitarianisme. Ia hanya percaya pada tauhîd, monotheisme. Monotheisme menolak segala pengakuan dan keyakinan mausia atas tuhan-tuhan palsu. Jika pada zaman Jâhiliyyah, tuhan-tuhan palsu itu dimanifestasikan dalam wujud berhala-berhala, maka pada zaman modern ini, menurut Syari’ati, tuhan-tuhan palsu terwujud dalam banyak aspek dan bidang yang lebih luas dan komplek dari sekadar berhala-berhala sesembahan. Tuhan-tuhan itu lebih berbentuk sistem tirani yang sarat dengan penindasan, atau kemegahan dunia yang ketika meraihnya harus merampas hak-hak orang lain.
Syari’ati dalam bukunya Eslamshenasi (Islamology) menyatakan bahwa kesyirikan tidak saja berarti menolak Tuhan. Perwujudan modern kesyirikan dapat dijumpai pada kasus di mana orang melakukan tindakan yang merupakan monopoli Tuhan, dengan begitu berarti menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan. Memuja pribadi, atau hubungan kemanusiaan apa pun di mana orang bergantung pada, secara membuta mengikuti, tunduk patuh pada orang lain, merupakan contoh kesyirikan. Syari’ati menulis: “Orang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, dan memerintah menurut kemauannya sendiri, berarti dia telah mengakui sebagai Tuhan, dan barangsiapa menerima pengakuan seperti itu, berarti dia syirk, karena perintah, kehendak, kekuasan, dominasi, dan pemilihan mutlak itu merupakan monopoli Tuhan saja”.
Masih dalam buku Eslamshenasi, Syari’ati memperlihatkan kenapa Muslim sejati harus menentang kesyirikan yang disebutnya sebagai pemerintahan dan otoritas orang-orang yang hendak menempatkan dirinya sebagai penganti Tuhan. Dengan menyebutkan bahwa manusia adalah katalisator perubahan, Syari’ati bermaksud melepaskan manusia dari ketakutan menentang otoritas yang zalim. Di luarnya, Syari’ati membuat generalisasi yang agak naif, dengan mengkhususkan trinitas jahat, seperti bodoh, takut dan serakan, sebagai sumber segala bentuk penyimpangan, dosa, kejahatan, kekejian, kehinaan, keburukan dan bahkan keterbelakangan. Ahli tauhîd, orang yang meng-Esa-kan Tuhan, menurut Syari’ati, kebal terhadap trinitas jahat ini. Perilakunya bukan diatur oleh kegunaan, namun oleh kesadaran akan fakta bahwa hanya Tuhanlah yang harus ditakuti dan dihormati tanpa syarat. Sedangkan segenap makhluq-Nya tak ada dayanya di hadapan-Nya. Syari’ati mengatakan bahwa ahli tauhîd memiliki ciri-ciri yang akan melahirkan revolusioner Islam ideal. Ahli tauhîd itu “mandiri”, tidak pernah takut, peduli pada orang lain, terpercaya, dan hanya tunduk kepada Tuhan.
Pandangan dunia tauhîd, lanjut Syari’ati, menuntut manusia hanya takut kepada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, dan selain itu adalah kekuatan yang tidak mutlak atau palsu. Tauhîd menjamin kebebasan manusia dan memuliakan untuk semata kepada-Nya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan, dominasi belenggu, dan kenistaan oleh manusia atas manusia. Tauhîd memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan. Kebebasan manusia dimulai ketika Tuhan meniupkan ruh dan memberinya kepercayaan. Manusia mempunyai hubungan dengan Tuhan yang memandang kesatuan Tuhan dengan dirinya yang mengarah kepada kesempurnaan. Itulah sebenarnya gerakan manusia ke arah kesempurnaan (takâmul) dan peninggian (ta’âli). Menurut Syari’ati, tiga simbol manusia pada tahap kesempurnaan tercermin pada: (1) kesadaran diri, (2) kemauan bebas, dan (3) daya cipta. Dari tiga filosofis dasar itu, mengutip pernyataan Descartes: “cogito ergo sum” dan Gidden: “saya merasa maka saya ada”, maka Syari’ati mereformulasi itu menjadi: “saya memberontak maka saya ada”. Formula ini menggambarkan manusia dalam tahap sempurna. Tiga simbol itu bisa membawa manusia dalam tahap sempurna jika ia berupaya menanamkan tiga simbol pada sifat-sifat Ilahiyah, serta menjalankan fungsinya sebagai wakil pengawas Tuhan di muka bumi.
Ideologisasi Islam: Jalan Menuju Revolusi
Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga, multi-interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam pandangan dunia (weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Syari’ati dapat disebut pemikir politik-keagamaan (politico religio thinker).
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka. Atas dasar ini, maka banyak pengamat menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”.
Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental.
Islam sebagai ideologi yang diusung oleh Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.
Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan. Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat. Mereka itulah yang menurut Syari’ati disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan perubahan.
Untuk mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi Islam, Syari’ati menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk melakukan redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk mengubah status quo yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.
Pada tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhîd sebagai pandangan dasar. Pandangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani. Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Pada tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.
Dengan berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara keseluruhan. Meskipun demikian, Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Pada tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.
Keseluruhan langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan mengerucut pada satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam (protestanism). Gerakan Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk: pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama – yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan rakyat. Keempat, mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan rakyat.
Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas (ijtihâd) yang kritis, revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan pembaharuan agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat besar di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif.
Sumber Rujukan:
Akhavi, Shahrough, “Shari’ati’s Social Thought”, dalam Nikki R. Keddie (ed.), Religion and Politics in Iran (New Haven: Yale University Press, 1983).
Alghar, Hamid, “Islam as Ideology: The Thought of Ali Syari’ati”, dalam Hamid Alghar (ed.), The Root of Islamic Revolution (London: Oxfort University, 1983).
Rahnema, Ali, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah Pemberontak”, dalam Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1996).
Sachedina, Abdulaziz A. “Ali Shari’ati: Ideologue of The Iranian Revolution”, dalam John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgent Islam (New York: Oxfort University Press, 1983).
Syari’ati, Ali, “And Once Again Abu-Dhar”, dalam http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php, tanggal 22 Pebruari 2006
___________, “Fatima is Fatima”, dalam http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/fatima_is_fatima5.php, pada 22 Pebruari 2006
___________, “Jihad and Shahadat”, dalam http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/jihad_shahadat.php, pada 22 Pebruari 2006
__________, “Red Shi’ism (the religion of martyrdom) vs. Black Shi’ism (the religion of mourning)” dalam http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/red_black_shiism.php, tanggal 20 Pebruari 2006
__________, “Hajj”, dalam http://www.shariati.com//hajj, tanggal 25 Januari 2006
__________, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1994)
__________, Membangun Masa Depan Islam: Pesan untuk Para Intelektual Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998).
__________, On The Sociology of Islam (Berkeley, Calif: Mizan Press, 1979).
__________, Paradigma kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam (Jakarta: al-Huda, 2001).
__________, Reflections of Hunanity: Two Views of Civilization and the Plight of Man (Houston: Free Islamic Literatures, 1980).
__________, What Is To Be Done: The Enlightened and Thinkers and Islamic Renaisance (Houston: IRIS, 1986).
__________, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1982).
__________, “Islamology”, dalam http://www.shariati.com, tanggal 11 Maret 2006
__________, “Man and Islam”, dalam http://www.shariati.com, tanggal 11 Maret 2006
__________, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais (Jakarta: Srigunting, 2001).
__________, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989).
__________, “Where shall we begin?”, dalam http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/where_shall_we_begin.php, tanggal 20 Pebruari 2006

Filsafat Sosial Ali Shari’ati:
Sebuah Pengantar[i]
M. Subhi-Ibrahim
http://ruhullah.wordpress.com/2008/09/22/filsafat-sosial-ali-shariati-sebuah-pengantar/


Karakter Filsafat Shariati
1) Motif Praxis

Pemikiran, ide, maupun gagasan cemerlang yang lahir dari seorang pemikir tak bisa dilepaskan dari ruang sosio-politik dan kultural dimana ia hidup. Pemikiran adalah buah interaksi individu dengan realitas. Suatu pemikiran akan kehilangan baju historis dan ruh inspirasinya bila diisolasikan dari ruang dan waktu dimana ia lahir. Filsafat sosial Ali Shari’ati pun demikian. Shari’ati tak bisa dilepaskan dari konteks Iran. Pergolakkan dan krisis di Iran era 60-70-an adalah “ibu kandung” filsafat sosial Shari’ati.

Sesungguhnya, agenda utama aktivitas intelektual Shari’ati bukan menyusun suatu teori filsafat. “Saya tidak ingin sibuk dengan teori-teori. Saya bukan seorang teoritikus. Teori-teori adalah baik untuk universitas-universitas—bukan untuk saya. Teori-teori itu tidak dapat melicinkan tujuan saya,” aku Shari’ati.[ii] Tujuan utama dan Titik-bidik Shari’ati adalah masalah bagaimana menganjurkan orang agar beraksi seperti Imam Husain. Shari’ati yakin, Imam Husain telah berkorban demi membebaskan pengikutnya dari tekanan politik dan sosial.[iii]

Sebagai contoh, karyanya al-Hajj. Dalam buku tersebut, di satu sisi Shari’ati memang membongkar simbol-simbol, menggali makna dan filsafatnya. Namun, di sisi lain ia bicara tentang penderitaan, penindasan dan kesyahidan (martyrdom). Dari situ pula ia merekonstruksi gagasan tentang pembebasan, kemerdekaaan dan perjuangan rakyat melawan penindasan. Shari’ati terkesan sedang berperan sebagai arsitek sebuah revolusi. Bahkan menurut Hamid Alghar, di jantung gugus fikir Shari’ati, yang banyak ia lontarkan di banyak tempat dan kesempatan, terkandung misi revolusi.[iv]

2) Inklusifitas Referensial dan Eklektisme-Kritis

Harus diakui, bila melacak sumber pemikiran Shari’ati, maka akan ditemukan sebuah panorama yang menunjukkan sebuah keterbukaan (inklusifitas) rujukan. Shari’ati, secara tidak sungkan-sungkan mengutip dan memetik berbagai khazanah pemikiran, baik dari tradisi Barat, Timur maupun Islam.

Dalam banyak karya Shari’ati, bisa dijumpai nama-nama pemikir besar yang ia rujuk, seperti Durkheim, Fanon, Sartre, Heidegger, Marx, Nietzche, Bergson dari tradisi pemikiran Barat, Radakrishnan dari tradisi pemikiran India (Timur), atau Rumi dari tradisi pemikiran Islam.

Keterbukaan dalam rujukan mengantarkan Shari’ati pada suatu gaya (style) berfikir eklektis.[v] Eklektisme, sebagai suatu gaya berfikir, telah dipraktekkan oleh banyak filosof muslim, seperti al-Kindi, pada era filsafat Islam klasik, atau Mohammad Iqbal, pada kurun Modern.

Dalam meramu pemikirannya dengan bahan ide yang kaya, Shari’ati memiliki sikap mendua. Di satu sisi menerima, namun di sisi lain mengkritik habis suatu pemikiran. Kepekaan paradoksal Shari’ati ini bisa dimengerti dari motif dasar kerangka berfikirnya. Motif terdalam yang menggugah Shari’ati adalah motif praxis, yaitu pembebasan, khususnya pembebasan rakyat Iran dari despot-tirani Shah Iran. Maka baginya, perlu sebuah pemikiran yang bisa menjadi ideologi pembebasan yang mampu mengubah kondisi sosio-politik secara revolusioner. Oleh karena itu, Shari’ati selalu melihat segala khazanah pemikiran dari perspektif pembebasan tersebut.

Secara umum, ada dua tradisi pemikiran yang coba dipadukan oleh Shari’ati guna memenuhi obsesi intelektual tersebut, yaitu tradisi pemikiran Islam dan tradisi pemikiran Barat. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa butir pemikiran yang ia serap dari dua tradisi tersebut.

Pertama, dari tradisi Islam, Shari’ati banyak menyerap istilah-istilah kunci doktrin Islam seperti tauhid, syahadah, jihad, ijtihad, ‘adalah. Istilah dan konsep religius itu oleh Shari’ati direinterpretasikan melalui satu kerangka konseptual, yaitu bahwa Islam yang otentik (sejati) adalah Islam yang memihak kepada rakyat, membela kaum tertindas, dinamis, progresif dan revolusioner.

Kekentalan paradigma itu tampak dalam beberapa karya Shari’ati yang mengkritisi paham keagamaan yang banyak dianut oleh umat Islam (Syi’ah) Iran.[vi] Menurut Shari’ati, Syi’ah yang otentik adalah Syi’ah Alawi, yang ia sebut sebagai syi’ah merah (red Shi’sm). Syi’ah Merah merupakan Syi’ah yang di dalamnya bergolak semangat revolusioner, pencarian kebebasan, keadilan, bersandar pada rakyat dan berjuang dengan tegar melawan penindasan, kejahilan serta kemiskinan. Singkatnya, seperti dikemukakan Ira M. Lapidus (professor sejarah di Universitas Kalifornia, Barkeley) bahwa dalam benak Shari’ati tertanam keyakinan bahwa syi’ah (sejati) merupakan suatu agama protes.[vii] Lawan Syi’ah merah adalah Syi’ah hitam, yaitu syi’ah yang meninggalkan massa rakyat, menjadi stempel penguasa yang menindas, dan menina-bobokan umat.[viii]

Inti adopsi dan reinterpretasi Shari’ati terhadap doktrin Islam adalah mentransformasikan agama dari sekedar ajaran etika individual menjadi ideologi revolusioner yang mampu mengubah dunia. Dalam The Oxford Enciylopedia of the Modern Islamic World diungkapkan bahwa “Agama, dalam pandangan Shari’ati, dapat mengantarkan orang pada komitmen ideologi untuk membebaskan individu dari tekanan”[ix]

Kedua, dari pemikiran Barat, Shari’ati banyak memetik ide-ide cemerlang. Interaksi yang intensif dengan wacana serta pergolakan pemikiran di Barat, selama di Paris, membekas dalam benak Shari’ati dalam bentuk yang paradoksal pula. Bagi Shari’ati, pola pikir Barat memiliki dua sisi paradoksal. Di satu sisi menguntungkan dan berguna, tetapi di sisi lain merugikan dan memuakkan. Menguntungkan, dalam arti, pemikiran Barat mampu memberi horizon berfikir baru dalam melihat realitas, akan tetapi memuakkan karena menyisihkan, menyepelekan bahkan memberangus sisi spiritual yang merupakan salah satu ciri esensial manusia.

Sisi positif yang dilihat Shari’ati dari tradisi pemikiran Barat adalah kemampuan dan ketajaman instrumen ilmiah Barat dalam menyoroti dan menganalisa realitas, khususnya realitas sosial. Pada bidang analisa sosial ini Shari’ati banyak menukil pemikiran Barat. Minimal ada dua aliran besar pemikiran Barat yang dominan diadopsi Shari’ati dalam filsafat sosialnya, yaitu:

1. Marxisme.
Shari’ati menyepakati “kerangka” pikir Marxisme dengan meminjam konsep konflik dialektik. Istilah Shari’ati tentang determinisme historis (jabr-i tarikh-i) pun diambil dari khazanah Marxisme. Bagi Shari’ati, figur Karl Marx bisa dibedakan menjadi tiga figur: Marx muda, Marx dewasa dan Marx tua. Marx muda lebih sebagai Marx yang menekankan dimensi ekonomi dalam analisisnya dan ateistik. Marx dewasa adalah tokoh sosiolog yang mengkaji tentang bagaimana penguasa menindas yang dikuasai, hukum determinisme historis, bukan determinisme ekonomik, super-struktur dan infra-struktur masyarakat, ideologi. Marx tua adalah Marx “sang politikus”, yang memimpin gerakan komunisme internasional. Dari ketiga figur Marx tersebut, Shari’ati lebih kagum dan banyak menyerap pikiran dari Marx dewasa.[x]

2. Eksistensialime
Filsafat eksistensialime memberi “mata baru” bagi Shari’ati untuk melihat individu. Inti pikiran yang diserap Shari’ati adalah bahwa individu dengan segala kebebasannya, harus bertanggung jawab atas semua tingkah-polanya.

3) Filsafat yang Menggerakkan

Seperti telah disitir di muka bahwa Shari’ati mengolah dan menyusun filsafat sosialnya bukan tanpa motif. Dorongan terbesar yang menggugah Shari’ati adalah membebaskan rakyat Iran dari rejim Shah Iran yang korup, menindas dan otoriter.[xi] Untuk tujuan praxis tersebut, Shari’ati secara sadar menciptakan sebuah filsafat yang bisa menjelma sebagai ideologi pembebasan.[xii] Bagi Shari’ati, filsafat tidak boleh netral. Ia harus memihak. Filsafat yang “bebas kepentingan” atau bebas nilai hanya akan menjadi eksplorasi melangit, tak membumi, dan asing. Bahkan bila filsafat ditempatkan sebagai ide netral, maka ia bisa dimanfaatkan, dimanipulasikan untuk melegitimasi kekuasaan atau sekedar sebagai aktifitas pelipur lara komunitas elit intelektual saja.[xiii]

Selain sisi kenetralan filsafat yang dikritik, Shari’ati pun secara eksplisit menyindir filsafat yang “melangit” dengan sangat tajam. Dalam The Visage of Mohammed, Shari’ati mengatakan:

Jika kita mencopot Sokrates dan murid-muridnya dari sejarah, apa yang terjadi? Hanya perpustakaan dan akademi-akademi yang akan keluar menjerit-jerit. Tetapi rakyat jelata tak akan tahu tentang itu. dan, mereka tak akan merasa kehilangan[xiv]


Dalam buku yang sama, Shari’ati melanjutkan bahwa:


Tak ragu lagi, bagi Barat dan Metrale, Spartakus lebih berguna dan menguntungkan ketimbang sebuah akademi penuh dengan Plato dan Aristoteles. Sedang bagi Timur, Abu Dzar, seorang Arab Badui, lebih efektif ketimbang ratusan Ibn Shina, Ibn Rusyd dan Mulla Shadra[xv]


Sikap kritis Shari’ati atas filsafat bukan berarti bahwa ia menolak mentah-mentah filsafat. Shari’ati hanya tak setuju bila filsafat semata menjadi olah-pikir yang tak menyentuh kehidupan nyata, dan hanya “membicarakan” realitas tanpa mampu berkomunikasi, dan “mengubah” realitas. Hal ini dibuktikan oleh Shari’ati. Efektifitas ide-ide Shari’ati bisa dilihat secara nyata dalam revolusi rakyat Iran, 11 Januari. Hamid Algar, dalam pengantar Marxism and Other Western Fallacies karya Shari’ati, menjelaskan bahwa:

Kalimat-kalimatnya yang mengesankan dari tulisan-tulisannya menjadi slogan revolusi yang siap pakai tanpa perlu diutak-atik dan dikomentari kembali. Tulisan tersebut dicantumkan pada bendera-bendara yang selalu dibawa pada demonstrasi besar yang dilakukan selama Revolusi Iran. “Syuhada adalah jantung sejarah!’, ‘Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala! ’”[xvi]

Dialektika Sosiologi:
Pokok Filsafat Shariati
1) Antropologi : Dasar Dialektika Sosiologi

Dialektika sosiologi dibangun berdasarkan suatu kerangka ontologi dalam bentuk citra hakikat manusia (antropologi). Artinya, Shari’ati menjadikan paradigma humanistik sebagai pondasi dialektika sosiologi-nya. Dalam basis antropologis itu, manusia dicitrakan sebagai : pertama, makhluk (ciptaan) Tuhan, kedua, dicipta dari dua unsur esensial, yakni tanah dan ruh ilahi, ketiga, posisinya di bumi sebagai khalifah-Nya, dan keempat, diberi keistimewaan ilmu dan kebebasan kehendak. Dua unsur pembentuknya menjadikan manusia sebagai makhluk dua dimensi (bi-dimensional). Berkat dua unsur esensial yang saling bertentangan itu pula, manusia diistilahkan Shari’ati sebagai realitas dialektis. Kondisi konflik dialektis abadi internal diri manusia menjadikannya sebagai fenomena dialektik itu sendiri. Sepanjang hidupnya, manusia tak bisa lepas dari konflik dialektis tersebut. Kualitas kemanusiaan bisa diukur dari kesuksesan dalam menjalani konflik dialektik itu. Insan adalah manusia yang telah memihak sisi ruh ilahi, mampu meloloskan diri dari empat penjara manusia (alam, sejarah, masyarakat dan ego) yang mendeterminasi hidupnya. Sedangkan basyar adalah manusia yang masih terkurung oleh empat kekuatan deterministik itu. Oleh karena itu, manusia ideal adalah manusia dengan kualitas insan tersebut. Manusia dengan kualitas insan tersebut merupakan kerangka dasar rausyanfikr (pemikir yang tercerahkan) sebagai penggerak revolusi sosial.


2) Dialektika : Hukum Sosial

Murtadha Muthahari menulis dalam Society and History,”apabila masyarakat memiliki eksistensi yang nyata, maka ia tentu mempunyai hukum-hukum yang khas.”[xvii] Bagi Shari’ati, hukum yang khas itu adalah hukum dialektika. Sebagaimana manusia individual, masyarakat pun merupakan lokus dialektika. Di dalamnya berlaku hukum dialektika. Hal ini bisa dilihat pada:

Pertama, sejarah masyarakat. Masyarakat berkembang secara historis melalui dua tahap: zaman habil (pastoralis), dan zaman Qabil (agrikulturalis). Hukum sejarah berbentuk dialektika-historis dimana tahap Habil diganti oleh anti-tesisnya (tahap Qabil), dan berakhir dengan kembalinya tahap Habil. Dengan kata lain, dialektika historis bergerak secara siklis. Inilah yang dikenal determinisme historis (jabr-e tarikh).

Kedua, anatomi masyarakat pun menunjukkan bahwa dialektika merupakan hukum yang mendasarinya. Super-struktur masyarakat memiliki dua struktur dasariah, yakni struktur Habil dan struktur Qabil. Karena masyarakat berbentuk dua struktur, maka kutub masyarakat pun terbelah menjadi dua kutub utama, yaitu: kutub Qabil (kelas-kelas penguasa) dan kutub Habil (kelas-kelas yang dikuasai). Di balik semua pengkutuban tersebut ada penopang dasar yang mengukuhkan dua struktur dan kutub sosial itu. Penopang dan pilar tersebut adalah infra-struktur sosial yang berbentuk pandangan dunia (jahan bini). Sebagaimana polarisasi struktur dan kutub sosial, pandangan dunia pun terdiri dari dua model, yakni pandangan dunia tauhid dan pandangan dunia syirk. Pandangan dunia tauhid melandasi cita-cita masyarakat ideal (ummah). Jadi, bagi Shari’ati, berdasarkan eksplanasinya, hukum yang menjadi sunnah (norma) dasar penggerak dinamika sosial adalah hukum dialektika.

3) Tauhid : Teropong Realitas

Shari’ati menyajikan konsep tauhid bukan sebagai konsep teologi-teoritis. Shari’ati memaknai tauhid sebagai jahan bini (pandangan dunia). Bagi Shari’ati, tauhid adalah paradigma untuk menatap realitas secara lebih radikal, baik realitas fisik atau meta-fisik, dalam bingkai unitas (kesatuan). Tauhid berfungsi sebagai cara memandang realitas (epistemologi). Dengan menempatkan tauhid seperti ini, tampaknya Shari’ati ingin agar implikasi epistemologi tauhid dapat menjadi basis tata-nilai dalam segala aktivitas manusia, baik secara individual maupun sosial. Bila tata-nilai tersebut menjadi paradigma individu-individu dalam meneropong realitas, maka cita-cita terwujudnya masyarakat ideal bisa menjadi kenyataan. Individu-individu tauhid bisa mengkristal menjadi ummah atau masyarakat tauhid.

4) Ummah : Sintesa Basis Material dan Basis Spiritual

Konsep ummah yang digagas Shari’ati sangat khas dan unik. Seperti dalam kisah Habil dan Qabil, keterbelahan sosial bermula dari basis material masyarakatnya, yakni dimensi ekonomi (pekerjaan). Oleh karenanya, Shari’ati menaruh ekonomi sebagai kerangka dasar yang menjadi pilar ummah. Dalam sistem sosial ummah berlaku persamaan dan keadilan sebagai nilai asasi, serta tak ada kelas sosial (sistem sosialistik-habilian). Imamah merupakan pilihan Shari’ati sebagai sistem politik yang menata kehidupan politis. Ummah merupakan sintesa dua kutub yang mendasari terbentuknya masyarakat, yakni kutub basis material (kerangka dasar dan sistem sosial) dan kutub basis spiritual (sistem politik), dalam konstruksi masyarakat idealnya.




5) Al-Nas dan Rausyanfikr : Aktor Revolusi Sosial

Menurut Shari’ati, revolusi sosial bukan hanya suatu keharusan tapi juga suatu keniscayaan. Pemikirannya ini didasarkan pada teori determinisme-historis. Dalam teori tersebut, sejarah masyarakat manusia bergerak secara siklis, dimana tahap pertama merupakan masa jaya sistem Habil. Selanjutnya, pada tahap kedua, terjadi pergeseran. Masyarakat dikuasai sistem Qabil. Di akhir tahapan, sistem Habil kembali merebut kendali masyarakat. Transisi antara tahap kedua dan tahap ketiga berbentuk revolusi sosial. Revolusi sosial berarti bahwa pelaku utama revolusi tersebut adalah massa atau rakyat (al-nas). Kendalanya, al-nas tak selalu sadar akan kondisi ketertindasan mereka dalam masyarakat Qabilian. Oleh karena itu, dibutuhkan figur yang “memicu dan menumbuhkan” kesadaran akan adanya konflik dialektis di masyarakat. Figur tersebut adalah rausyanfikr. Rausyanfikr bekerja tidak dengan tangan kosong. Ia menggerakkan kesadaran revolusioner massa dengan instrumen ideologi. Jadi, aktor proses kelahiran revolusi sosial adalah rausyanfikr, dan pelaku gerakan revolusinya sendiri adalah al-nas (massa, rakyat).

Wa Allahu a’lam
Beberapa waktu yang lalu saya membongkar buku-buku pustaka yang lama, ternyata saya melihat ada satu buku yang cukup menarik untuk disimak kembali dengan judul "The Visage of Muhammed yang ditulis oleh Dr.Ali Shariati dan diterjemahkan oleh Ir Ibnu Muhammad dengan judul "Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama".
Dr.Ali Shariati lahir pada tahun 1933, disebuah desa dekat Sabzavar di tepian padang pasir Kavir. Dia dididik pertama kali oleh ayahnya, Muhammad Taqi Shariati, salah seorang Ulama Iran terkemuka abad ini. Ali Shariati belajar di Mashad dan memulai karir politik, sosial dan intelektualnya. Tahun 1959 ke Paris memperdalam di bidang studi sosiologi dan ilmu-ilmu terkait, dan ia meninggal di Inggris pada tanggal 19 Juni 1977, dan di makamkan di Damaskus.
Buku ini diterbitkan pertama kali pada bulan Pebruari 1983 oleh penerbit Iqra Bandung.
Yang menarik dari buku ini adalah pemaparan yang lugas dari Dr. Ali Shariati dan pemaparan yang ekstrim biasanya lebih efektif untuk menegaskan maksud pembahasan , tetapi juga membuka peluang bagi pembahas untuk cenderung (tends to) sesekali terpeleset keluar dari rel hakikat atau kenyataan yang sebenarnya, atau setidak-tidaknya bisa menimbulkan kesan demikian. Dengan cara ini, pembahas biasanya menekankan pokok-pokok bahasan yang menonjol dan menunjang proses pencapaian maksud pembahasan sembari mengabaikan nuansa-nuansa.
Tesis sosiologis dalam buku ini yaitu mengenai proses dialektikal kecenderungan budaya atau keagamaan masyarakat dunia dari jaman ke jaman yang secara berturutan melahirkan "nabi-nabi" yang mengajarkan "agama-agama" sesuai dengan tuntutan jamannya yang selalu menghendaki adanya keseimbangan .
Menurut Shariati, suatu masyarakat sebagaimana suatu obyek, akibat berbagai faktor dan kondisi bisa menyimpang dari posisi keseimbangannya...... menuju, misalnya spritualisme dan kesalehan ekstrim dan kecenderungan kepada keakhiratan, atau menuju kepada kebalikannya yaitu materialisme atau korupsi ekstrimdan kecenderungan kepada keduniawian. Selalu pada tahap ini suatu agama besar tampil, dan arah tendensi masyarakat umum tampak sangat jelas dan arahnya selalu secara alami tanpa rekayasa.
Saat situasi ekstrim terjadi, maka muncullah seorang nabi dan dengan kekuatan agamanya menerapkan suatu gaya yang berlawanan dengan ekstrim tersebut, sehingga perluasan agama ini dan penyebarannya dalam masyarakat menyebabkan terjadinya equilibrium terhadap arah penyimpangannya, dan pada tahap ini misi keagamaan secara logis telah berakhir, tetapi kita tidak pernah mendapati adanya para pengikut agama tersebut mengumumkan akhir dari misi keagamaannya. Akibat dari agama yang terus menerus melancarkan kekuatannya kedalam masyarakat dengan arah yang sama, dan mencapai pada tahapan dimana agama secara paksa menjadi kekuatan negatif dan menyimpangkan sehingga menjadi ketersebaban penyimpangan kearah yang lain (ekstrim), sehingga masyarakat menjadi teralienasi atas semuanya dan mendekati kematiannya, tiba-tiba saja terbangkitkan seorang nabi yang lain melawan kekuatan agama yang lama. Kekuatan ini dilancarkan begitu hebat dan memaksa penyimpangan/ekstrim yang terdahulu untuk mencapai suatu equilibrium yang baru, hal ini berlaku secara terus menerus didalam masyarakat dan ini bisa terlihat pada agama-agama masa lalu.
Dalam tesisnya, Shariati ingin membuktikan bahwa logis bila Islam ditetapkan sebagai agama wahyu yang terakhir dari Allah, dan tidak ada lagi agama wahyu baru lagi setelahnya sampai pada akhir jaman.
Analisa dan pemikiran Dr. Ali Shariati dalam buku kecil ini, benar-benar suatu yang baru dan orisinal, sehingga setiap pembaca diharapkan dapat diperkaya wawasannya mengenai Islam, dan buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin mendalami tentang Islam.
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7884&post=2

Tema-tema Ali Shari’ati September 4, 2006
Posted by ummahonline in Artikel.
trackback
Oleh: Aqil Fithri
“Dengan nama Allah, Tuhan Muhammad, utusan terakhir yang mempunyai kesedaran, kemampuan dan kemerdekaan. Tuhannya Imam ‘Ali, teladan muslim sejati, korban penindasan, pemimpin umat manusia.
Dengan nama Allah, pencipta rumah Fathimah yang dengannya kita mengharapkan kebebasan, rumah kecil yang sama besarnya dengan seluruh alam raya.
Dengan nama Allah, Tuhannya Abu Dharr, contoh seorang mustadha’fin, rakyat yang tertindas masa silam dan masa kini; Tuhan dari mereka yang sepanjang sejarah telah menderita dan mengalami seksaan, dan mereka yang sekarang tetap menahan kesengsaraan sampai zuhurnya kembali Imam Kedua Belas. Allah milik mereka yang telah dipisahkan dari harta dunia sepanjang sejarah. Meskipun miskin, mereka selalu mengikuti jalan Ibrahim dan mewarisi kemampuan berjuang untuk mencapai kebebasan dari masa Adam sampailah Husayn, dari yang terakhir itu sampai alam baqa’, mereka akan terus berjuang untuk menyelamatkan umat manusia.” — Ali Shari’ati (1986), What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance
Latar Awal Pemikiran
Membaca Ali Shari’ati—sama ada latarnya, karyanya, mahupun seruannya—adalah seperti membaca beragam wawasan baru dalam pemikiran Islam. Tema-tema yang disemarakkannya sering saja mengundang rasa gementar, lantaran sisi pencerahannya dari pesanannya serta sisi meresahkan bagi mereka yang berada berseberangan.
Lazimnya, tema-tema Shari’ati bukanlah baru secara per se, tetapi lebih berupa pemugaran kembali keaslian pemikiran yang sekian lama tertanam dalam tradisinya. Bicara Shari’ati dalam beragam tema—tentang raushanfekran, tentang dialektik Marxisme, tentang ’irfan dan futuwwat, tentang ekstansialisme, tentang muslimah ideal, tentang humanisme, tentang filsafat hijrah, tentang mustadh’afin, tentang intizhar, tentang dimensi du’a, tentang anti-imperialisme, tentang kritik agamawan, tentang fungsi imamah dan khalifah, tentang filsafat hajj, tentang shia alavi dan shia safavid, tentang shahid—kesemuanya rata-rata kelihatan berlingkar dalam satu nada: tawhid, atau bahasa lainnya, monoteisme.
Kini persoalan pertama yang wajar dikemukakan ialah, bagaimana Shari’ati mampu berbicara tentang tema-tema ini dalam satu wawasan yang sangat menyegarkan? Memang, dikira tidak ada jawapan yang paling tepat melainkan jawapan dari guru pertamanya sendiri.
Menurut Laleh Bakhtiar (1996) dalam Shariati on Shariati and the Muslim Woman: Who Was Ali Shariati?, guru pertama Shari’ati adalah Muhammad Taqi Shari’ati, ayahnya sendiri. Ayahnya yakin dan percaya, latar Shari’ati sewaktu kecil inilah yang membentuk bingkai pemikirannya di hari-hari kemudian. Malah, Shari’ati pernah beberapa kali mengungkapkan betapa berharganya khutub khanah milik ayahnya terhadap khazanah pengetahuan yang tersemat dalam dirinya, yang kata Shari’ati lagi, setiap kata-kata di helaian buku-buku tersebut masih diingatinya sampai dewasa.
Tambah Laleh Bakhtiar tersebut, ayah Shari’ati pernah bercerita, saat Shari’ati masih lagi kanak-kanak, bagaimana setiap waktu tengah malam ia sering menjenguk dan menasihati Shari’ati agar menyambung saja bacaannya keesokan harinya. Lalu ayahnya memadamkan lampu bilek Shari’ati. Namun begitu, kemudian di awal pagi, sekali lagi ayahnya kembali ke sana, didapati bilek lampu Shari’ati cerah semula.
Malah, Ali Rahnema (2000) dalam An Islamic Utopian: A Political Biography of Ali Shari’ati turut merakam sumbangan khutub khanah ayahnya pada Shari’ati. Kata Rahnema, di sana Shari’ati telah berkesempatan membaca banyak karya-karya besar. Ini termasuklah Les Miserables (Victor Hugo), Mathanawi (Jalaluddin Rumi), berjilid-jilid buku Vitamins dan History of Cinema (kedua-duanya diterjemahkan oleh Hasan Safari), Great Philosophies (diterjemahkan oleh Ahmad Aram), Zan-e Mast, Tadzkirat al-Aulia (Fariduddin Attar), dan lain-lain lagi.
Tidak cukup latar itu sahaja, menurut Syaikh Ali Agha Tehrani, salah seorang agamawan yang dihormati di waktunya, sepertimana yang sekali lagi dikutip oleh Laleh Bakhtiar (1996) sendiri, hampir kesemua tulisan-tulisan Shari’ati hakikatnya terangkum dalam garisan keselanjaran fikiran. Syaikh Tehrani melakukan pemerhatiannya terhadap dua buah buku shahid yang ditulis Shari’ati. Menariknya, ungkap Syaikh Tehrani lagi, kebetulan dua buku tersebut—Abu Dharr-e Ghiffari: Khoda-parast-e Sosialist dan Hurr—adalah buku pertamanya dan juga buku terakhirnya, yang masing-masing memiliki gaya bahasa dan seruan yang sama. Kata Syaikh Tehrani:
”Keruhanian dan kualiti kemanusiaan bagi sarjana dan mujahid agung, Ali Shari’ati adalah sangat mengagumkan fikiran kita. Kegeligaan, keyakinan, keikhlasan, kesedaran, ketekunan, kepastian jalan yang telah diambilnya… Diamati, menerusi kerjanya yang pertama sehinggalah kepada kerjanya yang terakhir, semuanya mempunyai kesatuan matlamat dan haluan.”
Dari pengaruh sewaktu kecil di ”bumi kesyahidannya” (Mashhad) inilah, pemikiran Shari’ati terbina serta menjadi binaan kosmologi tema-temanya. Biarpun setiap fasa kehidupannya sarat dengan penekanan pengalaman yang berbeza, tetapi kerangka pemikiran Shari’ati masih tidak lari dari monoteisme. Umpamanya, sewaktu di peringkat sekolah tinggi dan universiti, Shari’ati pernah terhimbau dengan ide-ide Marxisme yang dibawa menerusi beberapa gerakan kiri seperti Nehzat-i Khodaparastan-i Sosialist, Hizb-e Tudeh, dll.
Menerusi idealog Marxisme Iran, Taqi Arani terutamanya, Shari’ati mula membaca bahan-bahan terjemahan revolusioner Marxisme yang akhirnya mendorongnya meminjam beberapa jargon-jargonnya dalam sebahagian besar analisa Islamnya. Barangkali dari tempias revolusioner inilah, Shari’ati pernah terlibat dalam Nehzat-e Moqavemat-e Melli, sebuah gerakan yang mendukung Mosaddeq. Ketika itu, para mahasiswa yang mempunyai kecenderungan ini terkenal dengan panggilan daneshamuzan-e melli.
Demikian juga ketika melanjutkan pengajiannya di Universiti Sorbonne, Perancis. Seperti yang dinyatakannya sendiri, Shari’ati sempat bergelut, teruja serta terinspirasi dengan pengaruh luar biasa eksistensialisme yang kental diwacanakan oleh gurunya yang pernah menolak hadiah Nobel, Jean Paul Sartre.
Begitu juga dengan aktivisme Che Guevara, yang dapat menggamit keterpesonaan Shari’ati sehingga membawanya kepada penerjemahan karya Guerrilla Warfare dalam bahasa Parsi. Di Sorbonne itulah juga, Shari’ati bergaul akrab dengan beberapa pemikir lain seperti Louis Massignon, Frantz Fanon, Jacques Berque, Albert Camus, dll. Namun, pengaruh terhadapnya yang paling tajam adalah menerusi Gurvitch, professor sosiologinya, yang sampaikan Shari’ati kerap dikenali di kalangan teman-temannya sebagai Gurvitchian.
Demikian deretan latar Shari’ati. Hamparan latar pemikiran yang rencam dan kadangkala mengelirukan. Terdidik dibawah naungan agawaman, terangsang dengan dunia aktivisme-politik semenjak remaja, kemudian bergulat dengan idealogi barat sewaktu menuntut di peringkat tinggi, dan akhirnya mencurahkan segala pengalamannya itu kembali kepada masyarakat terbanyak. Kerana itu, satu aspek tentang Shari’ati yang ingin sekali dicerahkan ialah ialah dimensi kompleksnya, dimensi yang kadangkala sukar dimengertikan oleh mana-mana kelompok sekalipun: yang pada satu kelompok mendakwa Shari’ati merupakan simpatisannya, dan pada saat yang berbeza memusuhinya pula.
Justeru itu, mungkin pendekatan yang paling saksama untuk menelaah terhadap apa yang dibicarakan oleh Shari’ati bukanlah menerusi satu tema tunggal, sebaliknya dari beragam tema, yang mana kesemua tema-tema ini tercantum dalam nada tawhid.
Raushanfekran
Raushanfekran mungkin merupakan gagasan yang paling menarik dari banyak pemikiran Shari’ati. Raushanfekran, pernah satu ketika mencemik emosi sinis dari kalangan akhund di Iran, terutamanya dari kalangan pengikut Ayatollah Milani yang sangat terkenal dengan garis kerasnya. Dalam makna bahasa asalnya, Raushanfekran, adalah merujuk kepada potret seorang intelektual yang tercerah, dan ia juga merupakan bahasa tanding Shari’ati sewaktu mahu meruntuhkan hagemoni politik-agama para akhund dalam pelbagai kelas masyarakat.
Dalam analisa tentang raushanfekran ini, Shari’ati cuba membuka wacana filsafat sejarah, atau khususnya sejarah masa depan. Ini kerana, menurut Shari’ati (1986) dalam What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance, setiap perubahan sejarah yang berlaku di kemudian hari, hakikatnya merupakan dampak dari pengaruh sejarah yang terjadi sebelumnya. Jadi, corak sesebuah masyarakat dewasa ini sebenarnya mampu menjadi ukuran serta sukatan kepada sesuatu yang bakal berlaku di masa depan.
Walau bagaimanapun, timbul pertanyaan, siapakah yang mampu memimpin perubahan sejarah ini? Barangkali, di sinilah Shari’ati meletakkan beban tersebut terhadap kaum raushanfekran ini. Barulah setelah itu hadiarnya pertanyaan yang berikutnya pula, siapakah rausyanfekran tersebut? Lalu Shari’ati mendefinisikan raushanfekran:
”Siapa orang yang tercerah itu? Mudahnya ia adalah mereka yang sedar tentang keadaan kemanusiaan di waktunya, serta arus sejarah dan kemasyarakatnya. Kesedaran seperti inilah dengan sendirinya akan memberikannya rasa tanggungjawab sosial. Jika kebetulan ia dari kalangan yang terpelajar, maka ia akan lebih berpengaruh, dan begitulah sebaliknya. Tapi ini bukan hukum umum. Memang, kadangkala mereka yang tidak terpelajar pun dapat memainkan peranannya yang jauh lebih signifikan.”
Malah, dalam bukunya A Glance at Tomorrow’s History, Shari’ati (1985) turut menjelaskan lagi gagasan raushanfekran ini menerusi The Cone Model. Dalam model ini, Shari’ati meletakkan kaum raushanfekran pada tingkat yang paling atas, sementara masyarakat khalayak terletak pada dasar yang paling bawah.
Dari paparan ini, ternyata Shari’ati cuba membayangkan bagaimana tebalnya pengaruh yang mampu digerakkan dari kalangan kaum raushanfekran ini, meskipun mereka terdiri dari kelompok yang minimum. Walau bagaimanapun, dalam gagasan ini juga, terdapat tuntutan agar disemak kembali hubungan antara kaum raushanfekran ini dengan masyarakat. Ini kerana, perubahan dalam masyarakat hanya akan terintis sekiranya kaum raushanfekran ini mengambil aksi sosial. Aksi sosial—yang juga istilah yang akrab dengan Alain Tourine, seorang sosiolog Perancis—seharusnya bersifat kolektif antara raushanfekran dan masyarakat.
Rentetan itu, pendekatan perubahan yang mahu direncanakan oleh raushanfekran seharusnya tidak statik dan mendatar. Pendekatan sewajarnya diatur berdasarkan kepada corak dan arus masyarakat saat perubahan tersebut mahu digerakkan. Sebab itu, dalam kes Iran, Shari’ati melihat peranan dari kaum raushanfekran masih belum sepenuhnya terlimpah dalam semua struktur masyarakat. Malah, takat pengalaman Iran waktu tersebut juga nyata berbeza dengan pengalaman Eropah pada saat abad ke-18 dan ke-19.
Sebagai contohnya, Shari’ati (1982) telah memaparkan perbezaan ini dalam Man and Islam. Dalam buku tersebut, Shari’ati merumus bahawa pengalaman Eropah pada waktu tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ini termasuklah pengaruh kelompok terdidik yang menonjol di Eropah waktu tersebut, yang boleh dianggap sebagai jurubicara masyarakat. Begitu juga percikan industrialisasi yang melanda Eropah sehingga perkembangan ini berjaya merapatkan jurang ekonomi di kalangan kelas masyarakatnya. Selain daripada itu juga, bagi Shari’ati lagi, kesedaran sosial yang wujud kalangan proletar dalam masyarakat Eropah pada waktu tersebut sangatlah tinggi. Ekoran dari kombinasi inilah yang kemudiannya melukiskan perbezaan pengalaman Iran saat Shari’ati berbanding dengan pengalaman Eropah pada abad ke-18 dan ke-19.
Dari itu, rumusan untuk merujuk kepada pendekatan terbaik dalam melaksanakan perubahan masyarakat ialah dengan menimbang pendekatan yang paling mesra zaman. Ini kerana perubahan masyarakat dengan mengunakan kaedah tentusisme sejarah ini, adalah bukan berteraskan kepada susun atur masyarakat: feudalisme, bourgeonisme, kapitalisme, imperialisme, sosialisme dan seterusnya. Sebaliknya, menerusi bantuan model kon tersebut, kita harus terlebih dahulu menentukan sejauh mana peranan kelas-kelas masyarakat dan apa arus di bawahnya. Yang harus diteliti juga ialah, siapakah dari tingkat-tingkat kon tersebut yang layak berada di puncak, siapakah yang berada di pertengahan, dan siapakah pula yang berada pada tingkat dasarnya?
Dialektik Marxisme
Dalam mana-mana buku Shari’ati, termasuklah bukunya tentang Hajj sekalipun, kerapkali kita akan menemui jargon-jargon Marxisme yang dipinjamkan dalam analisa Islam. Fenomenon ini mungkin menjadi bukti kuat betapa saratnya pengaruh pemikiran Marxisme yang bersemi dalam weltanschauung Shari’ati.
Jika menurut David Zeidan dalam ‘Ali Shari’ati: Islamic Fundamentalist, Marxist Ideologist and Sufi Mystic, Shari’ati merupakan seorang idealog yang punya latar Marxisme. Malah, Shahanshah Aryamehr menerusi Sazman-i Ittila’a-i Va Amniyat-i Keshvar (SAVAK) serta kelompok akhund di hauzah-hauzah juga sering memomok-momokkan Shari’ati sebagai pemuka dari gagasan Marxisme-Islam. Memang, momokkan ini masing-masing ada tujuannya yang tersendiri: baik dan buruk.
Tidak dinafikan, dari satu sisi yang lain, panggilan Marxisme-Islam terhadap Shari’ati ini mungkin benar. Bahkan, Shari’ati dalam beberapa keadaan, seperti mengesahkan konsep pertarungan kelas seperti yang dikemukakan dalam Das Kapital dan Communist Manifesto, lalu menggunakan terminologi tersebut dalam analisa sejarah Islam.
Buku pertamanya Abu Dharr-e Ghiffari: Khoda-parast-e Socialist ternyata sarat dengan dialektik borjuasi-proletar. Bezanya, Shari’ati menggunakan bahasa al-Qur’an—mustadh’afin dan mustakbirin—sebagai tukaran kepada borjuasi-proletar. Bertitik tolak dari sini juga, kita dapat lihat bagaimana begitu sosialistiknya Abu Dharr dalam pemikiran Shari’ati. Ungkap Shari’ati dalam buku pertamanya itu:
”Hari demi hari, aristokrasi, ekploitasi, pembaziran, kemiskinan, jarak serta perpecahan masyarakat, menjadi semakin lebar, dan propaganda Abu Dharr yang tumbuh semakin lama semakin meluas dan akhirnya mengoncang rakyat dan mereka yang tertindas. Mereka yang lapar telah mendengar dari Abu Dharr bahawa kemiskinan bukanlah takdir dari Tuhan yang tertera pada dahi, atau juga merupakan ketentuan nasib dan takdir dari langit, tetapi puncanya adalah kinz, pemunggahan modal.”
Tidak cukup dengan itu, seperti yang diungkapkan oleh Ali Rahnema, Hamid Dabashi, atau Hamid Algar sendiri, hubungan Shari’ati dengan Marxisme lebih bersifat cinta-benci. Kita dapat menyemak andaian ini ada kebenarannya menerusi bukunya yang paling kontroversi, Insan, Islam va Maktabha-yi Magrib Zamin. Dalam buku tersebut, Shari’ati menganggap Marxisme adalah sistem yang sangat memikat ekoran sifatnya yang tentuistik sejarah. Dari satu penjuru, pandangan pertarungan kelas yang dikemukakan oleh Marxisme tampak ada kebenarannya.
Namun begitu, Shari’ati kemudiannya melampirkan pesanan dalam buku yang sama itu, bahawa penolakan Marxisme terhadap peranan agama, atau khususnya terhadap dimensi keruhanian di dapati telah meninggalkan satu kekosongan yang sangat besar dan menimbulkan kegersangan. Bingkai perjuangan kelas akhirnya lebih bersifat horizontal, lantas mengabaikan sifat vertikalnya. Nah, adakah pengamatan Shari’ati ini dibenarkan oleh sejarah, lebih-lebih lagi sejarah bangsanya?
Jadi, kembali dalam pengalaman revolusi Islam Iran. Tentang revolusi ini, hampir semua pengamat politik sepakat bahawa Shari’ati telah memainkan peranan yang cukup bermakna sekali, sampaikan sewaktu kemuncak revolusi pada tahun 1978 dan 1979, rata-rata gambar yang menghiasi demostrasi adalah gambar Imam Khomeini dan Ali Shari’ati. Bahkan, Smith Alhadar dalam prakata salah satu buku Muhammad Khatami lebih radikal lagi berkesimpulan bahawa sekiranya Karl Marx masih hidup saat revolusi Islam Iran, tentu ia akan menilai kembali teorinya materialismenya, yang mana teorinya itu mengukuhkan rumus atheis. Ini kerana, Marx tidak pernah percaya bahawa agama dapat menjadi medium pengerak revolusi.
Sungguhpun begitu, kompleksnya pemikirannya Shari’ati tentang Marxisme tidak terlepas dari dikritik oleh rakannya sendiri. Murtadha Muthahhari (1983), yang pernah sama-sama dengan Shari’ati di Husainiyyah Irsyad cuba menunjukkan bahawa konsep pertarungan kelas dalam analisa Islam adalah sesuatu pendekatan pandangan yang lemah. Dalam bukunya, Dar Sarwash Li at-Thiba’ah wa al-Nashir, Muthahhari telah menghuraikan pertarungan kelas bukanlah satu-satunya punca perubahan rakyat, atau revolusi rakyat.
Dengan membawa contoh revolusi yang mendorong pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, Muthahhari menyatakan pengangkatan Imam Ali hakikatnya bukanlah didasari oleh faktor kelaparan semata-mata. Di sebelah faktor tersebut, terdamping faktor-faktor lain yang turut sama mendorong perubahan tersebut. Latar yang sama juga kita dapat semak menerusi percikan dan kegigihan perjuangan Abu Dharr, Husayn Bin Ali, Hurr, dll, yang mana masing-masing bertarung dengan status quo dengan kemuliaan hasrat yang unggul: semata-mata kerana ingin menegakkan cita-cita agamanya, atau paling kurang kerana ingin mempertahankan hak kebebasannya.
’Irfan dan Futuwwat
Dalam tradisi kita, atau lebih tepat lagi dalam faham agama kita, tentu tidak ramai yang mengenal ‘irfan, mahupun futuwwat. Hal ini mungkin berlaku kerana kita lebih sering terdedah dengan istilah yang lain, seperti tasawwuf, gnosis, sufi, ataupun tareqat. Tradisi ’irfan merupakan pengaruh dari Ibn ’Arabi yang telah kemudian ada meresap masuk dalam kebudayaan Parsi menerusi beberapa tokoh.
Namun, tokoh yang paling terkenal dan paling menghimbau Shari’ati ialah ’Ayn Qudat al-Hamadani, seorang sufi bersemangat yang pernah menuntut di bawah Hujjatul Islam Imam al-Ghazzali. Timbuhan karya-karya Al-Hamadani begitu dijiwai oleh Shari’ati, terutamanya dari puisi-puisinya. Bahkan, diduga terdapat minat lain yang dizahirkan oleh Shari’ati terhadap al-Hamadani ekoran perjalanan hidupnya yang revolusioner: yang pernah dituduh kafir, dihukum bunuh, jasadnya dibakar dan abunya ditebarkan. Memang, semuanya kerana kepercayaan dan pengalaman ’irfannya.
Pengaruh al-Hamadani yang paling ketara terhadap Shari’ati dapat dikesan dalam Kavir, sebuah bukunya yang ditujukan pada dirinya sendiri, yang bertentangan dengan Eslamshenasi yang ditujukannya pula pada masyarakat (Ali Rahnema, 2000). Dalam Kavir, atau terjemahan dari bahasa Parsinya adalah Gurun, ternyata begitu sarat dengan teosofi yang menampilkan sebuah bahasa kiasan serta kehalusan puisi sehinggakan disifatkannya Kavir merupakan cerminan dari bahasa Ibn Arabi. Dalam Kavir ini, Shari’ati membayangkan sebuah pandangan ’irfani:
”Awan mulai bergerak
Sangat kuat, berkilau, meliuk membumbung
Asap
Puting beliung
Pusar air
Jilatan api
Zarah akbar bernama Semesta
Ada mentari di pusatnya
Dalam orbitnya, bintang-bintang dan kuang-kunang
berputaran”
Selain daripada itu, futuwwat dari aktivis sufi juga mempersonakan Shari’ati. Bagi Shari’ati, gerakan futuwwat yang didasari kepada kecintaan kepada rasa kemanusiaan dan rasa kemestian dalam menyebar kebajikan. Dalam pengalaman Iran, gerakan ini telah terbentur dalam pelbagai zaman dan tahap. Di samping itu, para futuwwat ini turut percaya pada konsep fatiyan atau javanmardan, yang merupakan konsep peleburan diri dalam kerja-kerja yang mulia.
Barangkali konsep ini mungkin tercetus daripada istilah fata, yang menurut Imam al-Qusayri membawa makna, ”memecahkan berhala”. Jadi, dalam fahaman ’irfani, istilah fata atau fatiyan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk membebaskan masyarakat dari penindasan tirani, membela mereka yang lapar, serta sewajarnya berorientasikan keruhanian. Maka, kerana itu, seorang fatiyan harus memaknai kehidupannya dengan satu tujuan. Mungkin puisi Shari’ati dari One Followed by Eternity of Zeroes (1980) ini dapat menjadi cermin keluhuran perjuangan fatiyan:
“Jadilah manusia agung
Bagai seorang Shahid
Seorang Imam
Bangkit
Berdiri
Di antara rubah, serigala
Tikus
Domba
Di antara kosong-kosong
Bagai Yang Satu”
Tidak ketinggalan juga, fatiyan boleh saja dihuraikan sebagai gabungan cinta Sufi kepada Tuhan, cinta Sufi kepada ciptaan-ciptaanNya, cinta Sufi untuk melawan kezaliman. Imam Ali, bagi sebahagian besar fatiyan dianggap sebagai model terbaik dari lakaran seorang yang ’irfani. Bahkan, dalam karyanya yang sangat menawan, Ali, Shari’ati sendiri turut mengakui bahawa Imam Ali adalah simbol terbaik futuwwat selepas Nabi. Imam Ali juga, bagi Shari’ati lagi, adalah manusia teladan, manusia yang didambakan oleh zaman. Imam Ali, bukannya deus ex machina, tetapi ia adalah representant de’l humanite. Imam Ali bukannya Promethues, tetapi ia adalah nyata, hidup serta memberkas dalam sanubari setiap peradaban.
Kritik terhadap Agamawan
Ketika revolusi Islam Iran, ada dua kelompok yang saling bergandingan. Kelompok pertama adalah kalangan intelektual, yang bersama-sama Shari’ati terdapat Mehdi Bazargan, Bani Sadr, dll. Manakala kelompok yang kedua, adalah kalangan agamawan, yang terdiri dari Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, Mahmoud Taleqani, Husayn Baheshti, dll. Hal yang perlu dibezakan, meskipun terdapat aspirasi yang sama dalam tekad untuk menumbangkan regim pemerintah, namun kedua kelompok ini masing-masing memiliki bingkai idealogi yang berbeza, malah kadangkala bercanggah sama sekali. Atas nama melawan kezaliman Shahanshah Aryamehr, memang mereka bersekutu. Tetapi, itu tidak mengelakkan kedua-dua kalangan ini dari bersisih.
Shari’ati ada rekod menarik dalam perselisihan ini. Kritiknya pada kalangan agamawan tercatat sangat keras sekali. Latarnya yang mengenyam pendidikan tradisional saat di Mazinan, ditambah dengan kekuatan penguasaan beberapa idealogi Barat, menyebabkannya menyimpan cara pandang terhadap agamawan di Iran dalam wajah yang negatif, sehingga serangan-serangan Shari’ati akhirnya mengundangkan reaksi-reaksi yang tidak kurang beratnya. Jika agamawan memandang Shari’ati dengan label-label agama; crypto-sunni, agen wahhabi, pengikut babisme, dll, maka sebaliknya Shari’ati memandang agamawan sebagai mereka yang senang menampalkan diri mereka dengan gelaran-gelaran aneh; Ayatollah al-Uzhma, Ayatollah, Hujjatul Islam, dll.
Ekoran sikap sinis dengan kaum agamawan inilah, Shari’ati memanggil mereka sebagai akhund, yang mereka ini senang-senang mengunakan jubah agama semata-mata untuk ”mengenyang perut masing-masing” di waktu khalayak sedang ”kelaparan kepimpinan”. Umpamanya, dalam Eslamshenasi, Shari’ati mengungkapkan:
”Sangat perlu kita menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan Islam itu. Adakah kita maksudkannya dengan Islam Abu Dharr, bukan Islam Khalifah: Islam keadilan dan kepimpinan yang cemerlang, bukannya Islam penguasa, aristokrasi, dan kelas elit; Islam kebebasan, progresif dan kesedaran, bukannya Islam perhambaan, penundukkan dan pasif; Islam kaum mujahid, bukannya Islam kaum ulama; Islam kebajikan, tanggungjawab dan protes, bukannya Islam yang taqiyyeh, wasilah ulama’ dan takdir Tuhan semata; Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan, bukannya Islam yang menyerah dogmatik dan taqlid kepada ulama’.”
Begitu juga sewaktu berbicara tentang Tashau Alavi va Tashau Safavi dan Mazhab Alyhe Mazhab, yang dipercayai ditujukan khusus untuk membongkar kemunafikan para agamawan ini. Mithalnya, kita dapat lihat dengan jelas sekali sewaktu Shari’ati ingin mengariskan perbezaan besar antara agenda dinasti penguasa yang memasyarakat Shi’ah versi mereka, dengan Shi’ah versi anjuran Imam Ali dan Imam Husayn.
Bagi Shari’ati lagi, ”Shiah Merah” adalah Shi’ah kesyahidan, sebuah lambang protes dan revolusioner. Shari’ati turut mengenang bagaimana selama berkurun-kurun penguasaan dinasti Safavid, mereka hanya meluaskan hagemoni elitnya, sementara para Alaviyyin dalam sepanjang sejarah tersebut juga adalah bertindak berlawanan: berjuang membebaskan Islam dari kongkongan istibdad-i ruhani. Malah, pada Shari’ati lagi, agamawanlah yang menjadikan Islam sebagai khordeh-e burzuazhi yang mengeksploitasi khoms, sahm-i Imam, dll. Tampaknya, kritik keras Shari’ati seperti inilah yang tidak menyenangkan kaum agamawan di Iran.
Tapi, dalam sejarah Iran, Shari’ati bukanlah individu pertama yang mengkritik despotisme agamawan Iran. Sebelum itu terdapat Jalal-e Ahmad, Ahmad Khosravi, dll. Tambahan lagi, di waktu-waktu kemudian dari Shari’ati sekalipun, kelihatan kritikan terhadap peranan agamawan di Iran masih lestari menerusi gelombang pemikiran-pemikiran dari Abdolkarim Soroush, Morteza Montazeri, Bani Sadr, dll.
Umpamanya, makalah Hashem Aghajari (2002), From Monkey to Man: A call for Islamic Protestantism tampak sekali dengan disebarkan dengan niat untuk menyambung cemuhan terhadap dominasi kaum agamawan Iran mutakhir. Bagi Aghajari lagi, kaum agamawan ini dengan mudah saja mendakwa kalangan mereka sebagai mewakili Islam Asli, walhal mereka hanyalah sebahagian dari pewaris Islam Tradisional. Lebih menarik lagi, kita dapat meneliti sebahagian besar bentuk pemikiran Aghajari ini mempunyai kemiripan pemikiran Shari’ati. Ini berbeza dengan Abdolkarim Soroush (2000), yang mengakui dalam Reason, Freedom and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush bahawa, ”Shari’ati hanya mahu menjadikan Islam itu gemuk, manakala ia (Soroush) adalah sebaliknya, iaitu mahu menjadikan Islam itu kurus.”
Memang, rumusan Soroush itu tidak pernah menjadi soal buat Pouran-e Shari’ati. Tidak kira menjadikan Islam itu gemuk atau kurus, kesannya masih tetap sama. Kesannya adalah seperti sejarah perit perlawanan Shari’ati terhadap agamawan. Sejarah inilah yang melandaskan hujah Pouran-e Shari’ati bahawa sekiranya Shari’ati masih hidup pasca-Revolusi Islam Iran 1979, tentunya ia akan turut mendekam dalam penjara. Andaian isteri Shari’ati dalam A Portrait of a Life! ini mungkin ada kebenarannya. Selepas revolusi Islam Iran 1979, terdapat konflik antara kaum intelektual dengan kaum agamawan. Kaum intelektual mulai terpinggir dari Jihad-e-Sazandegi. Keadaan inilah yang dinamakan oleh kalangan Mujahidin-e Khalq sebagai ”revolusi yang akhirnya menelan anak revolusi”.
Semua kalangan percaya, setiap revolusi harus ada korban. Dan korban yang pertama adalah Shahanshah Aryamehr, sementara korban yang seterusnya ialah mereka yang berbeza dengan akhund. Malangnya, korban revolusi Islam Iran bukan hanya datang dari sepihak, sebaliknya merata pada semua. Husayn Beheshti, Muthahhari, Javad Bahonar, Ali Raja’i adalah antara mereka menjadi korban pada balas dendam Munafiqin-e Khalq, iaitu gantian nama popular untuk Mujahidin-e Khalq. Tepat sekali, percaya pada revolusi itu ada rapuhnya: kerana sekuat manapun revolusi itu, tentunya akan ada sekam dari dalam!
Khatimah
Dalam semua tema pemikiran Shari’ati, barangkali tidak ada rumusannya. Tidak ada bicara akhirnya. Ini kerana, menurut kepercayaan Shari’ati sendiri, tidak ada kebenaran yang tidak boleh diralat. Hidup dan meralat pandangan adalah dua sisi yang selanjar, berterusan dan suatu kerja yang tiada hentinya.
Biarpun pendirian Shari’ati ini jelas berbeza dengan Muthahhari, sepertimana yang telah diungkapkan sendiri oleh Hamid Algar dalam salah satu prakata buku Shari’ati, namun masing-masing tetap punya sumbangan yang tersendiri. Hampir pasti, kebesaran Shari’ati dalam konteks memugar keaslian pemikiran Islam tidak harus dinafikan. Inilah yang dinukilkan sendiri oleh murid Mohammad Arkoun, Robert D. Lee (1997) dalam Overcoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Autenticity, bahawa wacana Shari’ati antara tradisi dan kemodenan merupakan antara idea utamanya yang kian menarik untuk dicermati.
Itu Shari’ati: yang lahir pada 1933 dan shahid pada 1977. Jenazahnya di bawa dari Southampton dan diabadikan di sebelah maqam Zaynab al-Kubra. Imam Musa al-Sadr pula memimpin shalat akhir terhadapnya. Shari’ati manusia misteri dan kompleks. Selama 44 tahun, perjalanan kehidupan, perjuangan dan kematiannya penuh dengan catatan warna-warni. Tapi, dalam perjalanan singkat itulah yang menyerlahkan warna kental pada diri Shariati.
Warna Shariati adalah warna kelabu. Pengalaman Ali Rahnema (2000) dalam buku yang paling komprehensif tentang Shari’ati, An Islamic Utopian: A Political Biography of Ali Shari’ati barangkali dapat mencoretkan sedikit tentang kekelabuan Shariati ini. Ungkap Rahnema, saat mahu mencari manuskrip dan kumpulan-kumpulan catatan Shari’ati bazar-bazar di pinggir Tehran, terdapat mereka yang sudi menyerahkan bahan tersebut padanya—hanya semata-mata kerana ingin Rahnema menjernihkan segala kekelabuan pada diri Shari’ati itu.
Benar, Shari’ati adalah manusia kelabu, juga sekaligus manusia yang beragam-dimensi. Barangkali catatan muafakat terbaik buat Shari’ati ialah ia juga adalah seorang revolusioner, sama seperti ikonnya, Abu Dharr al-Ghiffari. Hal ini hamper pasti, kerana itulah yang dilukiskan pada dirinya sendiri dalam permulaan buku What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance. Kata Shari’ati dengan mengugah:
“Mengikuti tradisi Abu Dharr, yang saya anggap guru saya, yang pemikirannya, kefahamannya tentang Islam dan ajarah Shi’ah, dan cita-cita serta keinginan-keinginannya saya tiru. Maka saya mulai perbicaraan ini atas nama Tuhan kaum mustadh’afin.”
Demikian Shari’ati: sendiri di waktu kecilnya, dan sendiri juga di saat terakhirnya. Tragik, bukan? Memang, bukankah itu hukum buat mereka yang mahu mengikuti jalan Abu Dharr? Jalan yang panjang, berliku dan memeritkan! Tetapi, itulah jalan tawhid!
http://ummahonline.wordpress.com/2006/09/04/tema-tema-ali-shariati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar